Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Roller Coaster" Mata Uang Negara-negara Berkembang

Kompas.com - 05/09/2018, 06:07 WIB
Sakina Rakhma Diah Setiawan,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com — Nilai tukar mata uang negara-negara berkembang alias emerging markets kembali berjatuhan pada beberapa waktu terakhir. Rupiah terperosok hingga hampir menyentuh level Rp 15.000 per dollar AS pada penutupan perdagangan, Selasa (4/9/2018).

Ambrolnya nilai tukar mata uang negara-negara berkembang ini seolah membawa kembali ingatan ke tahun 2013 silam. Kala itu, kondisi serupa terjadi, hingga muncul sebutan Fragile Five alias negara-negara berkembang yang paling menderita nilai tukar mata uangnya terhadap dollar AS, yakni Brasil, India, Indonesia, Afrika Selatan, dan Turki.

Namun, kali ini pelemahan nilai tukar mata uang juga menyebar ke negara-negara berkembang lainnya, ambil contoh Turki, Argentina, Rusia, Meksiko, hingga Iran.

Lalu, apa yang melatarbelakangi pelemahan nilai tukar mata uang tersebut? Sederhananya, ada dua hal.

Pertama, kondisi eksternal. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa, mengatakan, kondisi ekonomi global masih bergejolak. Ini merupakan akibat kebijakan ekonomi AS yang berdampak hingga ke seluruh dunia.

"Kebijakan normalisasi moneter dan kenaikan suku bunga oleh The Fed (bank sentral AS Federal Reserve) serta perang dagang dengan China telah berimbas pada banyak negara, termasuk emerging countries (negara-negara berkembang)," ujar Sri Mulyani.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut juga menjelaskan, beberapa negara yang telah terimbas kebijakan The Fed dan perang dagang antara lain Venezuela, Argentina, dan Turki. Dampak terhadap negara-negara tersebut cukup signifikan, dibumbui tak ada fondasi ekonomi yang kuat dan kebijakan ekonomi yang tak sejalan fundamental.

Di sisi lain, ada pula faktor dari dalam negeri, yakni defisit neraca yang dialami Indonesia dan sejumlah negara berkembang lainnya. Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adinegara mengemukakan, perdagangan di dalam negeri yang kurang optimal juga membuat rupiah melemah.

Defisit neraca perdagangan ikut menyebabkan terjadinya defisit transaksi berjalan alias current account deficit (CAD). Pada kuartal II 2018, defisit transaksi berjalan Indonesia tercatat 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).

"Dari dalam negeri, neraca perdagangan terus mengalami defisit. Ini berimbas juga pada defisit transaksi berjalan yang menembus 3 persen pada kuartal II 2018," ujar Bhima.

Pelemahan nilai tukar diprediksi terus berlanjut hingga tahun 2019 mendatang. Ini sejalan dengan bakal terus menguatnya dollar AS dan gejolak ekonomi dunia yang masih terus membayangi.

Budi Hikmat, Director for Investment Strategy PT Bahana TCW Investment Management, mengungkapkan kompleksitas yang membayangi rupiah. Menurut dia, pemulihan rupiah bergantung pada dua sisi, yakni internal dan eksternal.

Pemerintah dipandangnya harus cermat dan cepat dalam menelurkan solusi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Akan tetapi, kondisi ekonomi global juga memengaruhi prospek rupiah ke depan.

"Pemulihan rupiah tidak hanya tergantung pada kecakapan dan kecepatan pemerintah menempuh jalan keluar untuk jangka pendek dan panjang, tetapi juga pada perbaikan kondisi eksternal," sebut Budi dalam laporannya.

Michael Every, analis dari Rabobank menjelaskan, nilai tukar mata uang negara-negara berkembang sejauh ini akan mengalami pelemahan. Yang dicermati adalah seberapa besar pelemahan yang terjadi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Cara Bayar Pajak Daerah secara Online lewat Tokopedia

Cara Bayar Pajak Daerah secara Online lewat Tokopedia

Spend Smart
Apa Itu 'Cut-Off Time' pada Investasi Reksadana?

Apa Itu "Cut-Off Time" pada Investasi Reksadana?

Earn Smart
Mengenal Apa Itu 'Skimming' dan Cara Menghindarinya

Mengenal Apa Itu "Skimming" dan Cara Menghindarinya

Earn Smart
BRI Beri Apresiasi untuk Restoran Merchant Layanan Digital

BRI Beri Apresiasi untuk Restoran Merchant Layanan Digital

Whats New
Kemenhub Tingkatkan Kualitas dan Kompetensi SDM Angkutan Penyeberangan

Kemenhub Tingkatkan Kualitas dan Kompetensi SDM Angkutan Penyeberangan

Whats New
CGAS Raup Pendapatan Rp 130,41 Miliar pada Kuartal I 2024, Didorong Permintaan Ritel dan UMKM

CGAS Raup Pendapatan Rp 130,41 Miliar pada Kuartal I 2024, Didorong Permintaan Ritel dan UMKM

Whats New
Simak Cara Menyiapkan Dana Pendidikan Anak

Simak Cara Menyiapkan Dana Pendidikan Anak

Earn Smart
HET Beras Bulog Naik, YLKI Khawatir Daya Beli Masyarakat Tergerus

HET Beras Bulog Naik, YLKI Khawatir Daya Beli Masyarakat Tergerus

Whats New
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Lampaui Malaysia hingga Amerika Serikat

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Lampaui Malaysia hingga Amerika Serikat

Whats New
KKP Terima 99.648 Ekor Benih Bening Lobster yang Disita TNI AL

KKP Terima 99.648 Ekor Benih Bening Lobster yang Disita TNI AL

Rilis
Di Hadapan Menko Airlangga, Wakil Kanselir Jerman Puji Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Di Hadapan Menko Airlangga, Wakil Kanselir Jerman Puji Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Whats New
Soal Rencana Kenaikan Tarif KRL, Anggota DPR: Jangan Sampai Membuat Penumpang Beralih...

Soal Rencana Kenaikan Tarif KRL, Anggota DPR: Jangan Sampai Membuat Penumpang Beralih...

Whats New
Menteri ESDM Pastikan Perpanjangan Izin Tambang Freeport Sampai 2061

Menteri ESDM Pastikan Perpanjangan Izin Tambang Freeport Sampai 2061

Whats New
Pertumbuhan Ekonomi 5,11 Persen, Sri Mulyani: Indonesia Terus Tunjukan 'Daya Tahannya'

Pertumbuhan Ekonomi 5,11 Persen, Sri Mulyani: Indonesia Terus Tunjukan "Daya Tahannya"

Whats New
“Wanti-wanti” Mendag Zulhas ke Jastiper: Ikuti Aturan, Kirim Pakai Kargo

“Wanti-wanti” Mendag Zulhas ke Jastiper: Ikuti Aturan, Kirim Pakai Kargo

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com