Bukan pelatihannya saja yang wah banget, tapi lebih daripada itu, kami diberi kesempatan untuk mengamati distrik kecil di wilayah Cambridge di mana Universitas Harvard berada yang hampir 80 persen penduduknya kalau bukan mahasiswa Harvard ya mahasiswa MIT karena hanya bertetangga saja kampusnya.
Kami lihat begitu majemuknya orang-orang yang menghuni kota kecil itu. Tak ada kesan wajah yang terbeban. Mereka memang serius, tapi tak ada wajah bersungut-sungut penuh beban.
Inikah representasi desa global yang paling ideal di dunia ini?
Hampir semua anak muda dari berbagai belahan dunia (sekilas tampak memang kebanyakan dari India, China dan Eropa Timur) menikmati kemajemukan itu untuk menimba ilmu bersama-sama.
Mereka menjadi terbiasa untuk percaya diri karena mereka tak lagi memiliki alasan untuk ‘mengapa harus terkungkung dalam tempurung’?
Anak-anak muda di wilayah Cambridge memang tak bisa disebut mewakili anak-anak muda seluruh dunia, tetapi spirit mereka menjadi magnet yang luar biasa: spirit untuk menang, menjadi yang terbaik, dan pada akhirnya survived – selamat dari keadaan.
Seth Godin – pelatih pengembangan profesional dunia – mengatakan dalam bukunya “The Dip”, bahwa salah satu ciri orang yang bakat untuk menjadi pemenang, menjadi yang terbaik dan selamat di perjalanan zaman adalah orang-orang yang terfokus hidupnya dan berhenti mengejar banyak hal.
Generasi saya, dan mungkin sebagian dari para millenials yang sebentar lagi akan dilibas oleh generasi Alpha, masih menyukai sebuah paket ‘safety net’ yang banyak jumlahnya, mengejar banyak hal, dengan alasan untuk untuk survive dan bertahan.
Tetapi, bukankah hal-hal itulah yang membuat sebagian besar dari yang pernah mencoba strategi itu gagal?
Dan inilah yang gagal saya pahami selama ini, seolah menjadi all-rounder, multi-tasker, adalah jalan paling umum dan aman untuk bertahan.
Stefano, juga Willy, dua anak yang saya ceritakan tadi, tak perlu harus pergi ke Harvard, MIT atau keliling dunia. Teknologi internet, juga media sosial, telah memampukan mereka untuk belajar dari anak-anak sebaya mereka di belahan lain di dunia.
Bangsa ini tak hanya kaya karena sumber alam dan besarnya jumlah penduduk, tapi karena generasi yang sedang mencari identitas diri ini jauh lebih matang dalam menyikapi berbagai perubahan dunia.
Mereka tahu apa yang mereka mau. Mereka juga tahu bahwa mereka mampu. Mereka berhenti mengejar banyak hal; mereka bunuh rasa takut dan keraguan; mereka tak mentah-mentah menerima nasihat kita para orang tua, tetapi mennerjemahkannya dalam konteks zamannya.
Saya tak khawatir dengan masa depan bangsa ini. Desa kecil bernama Indonesia ini memang memiliki karunia luar biasa, sehingga orang-orang lain melihatnya sebagai tempat untuk belajar: belajar menjadi anggota masyarakat dunia yang yakin bahwa memenangkan masa depan cukup dimulai dengan dua hal sederhana: optimisme, dan rasa percaya diri. Itu saja dulu.
Fortis fortuna adiuvat. Nasih baik berpihak pada mereka yang berani.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.