Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekonomi 2019, Mobil F1 dan Catatan Akhir Seorang Ekonom

Kompas.com - 17/01/2019, 16:26 WIB
Yoga Sukmana,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ruang teras di dekat lobi Hotel Millenium, Jakarta, mulai penuh saat seorang pria gempal datang dari arah lorong bagian selatan bangunan.

Langkahnya tak lagi tegap. Rambutnya pun sudah dibuat memutih. Waktu pelakunya.

Usianya sudah 56 tahun, namun sorot matanya tetap tajam, menatap lurus ke depan saat berjalan.

Sampai akhirnya Kompas.com menyapa, ia menoleh, langkahnya terhenti dan tersenyum. Lalu ia berucap, "Wah kamu, apa kabar?" tanyanya sambil mengulurkan tangan kanannya.

Tentu, uluran tangan itu tersambut baik. "Alhamdulillah, baik Pak," jawab Kompas.com singkat.

Tak banyak kata setelah itu. Ia hanya tersenyum, merangkul dan langsung melanjutkan langkahnya.

Baca juga: Ekonom dan Pengajar UGM Tony Prasetiantono Berpulang

Rabu (16/1/2019) sekitar pukul 14.30 WIB, pemilik nama Tony Prasetiantono itu datang ke Hotel Millenium Jakarta untuk menjadi salah satu pembicara di acara diskusi ekonomi politik.

Sebagai ekonom senior Universitas Gadjah Mada (UGM), Tony menyampaikan pandangan terkait ekonomi Indonesia 2019.


Mobil F1


Pria kelahiran Muntilan, 27 Oktober 1962 silam itu mendapatkan kesempatan bicara usai Direktur Megawati Institute Arif Budimanta dan Managing Director Political Economy  and Policy Studies Anthony Budiawan.

Keduanya merupakan perwakilan masing-masing tim pemenangan capres-cawapres nomor urut 01 dan 02. Bagi Tony, visi misi ekonomi Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno memiliki satu titik temu.

"Keduanya secara garis besar ada pertemuan, concern ingin swasembada, tidak ingin ketergantungan. Saya kita itu hal positif," ujarnya dia.

"Cuma di kampanyenya itu kadang-kadang suka ekstrim, misalnya hentikan impor, kan enggak mungkin," sambungnya sembari tertawa.

Tony tak mau larut dengan politik, selebihnya ia fokus membahas ekonomi. Dosen UGM itu sangat yakin ekonomi Indonesia pada 2019 akan lebih baik dari 2018.

Baca juga: UGM Berduka atas Kepergian Salah Satu Dosen Terbaiknya, Tony Prasetiantono

Tantangan eksternal memang tetap ada, namum dari sisi intensitas, ia menilai lebih kecil dari 2018. Sebab Tony menilai Amerika Serikat mulai mentok.

Di sinilah keunggulan Tony di keluarkan. Ia selalu menggunakan perumpamaan. Tujuannya tak lain untuk menyederhanakan hal-hal rumit di ekonomi.

"Ibarat mobil F1 yang terus dipacu, suatu saat dia harus keluar jalur (pit stop) untuk istirahat dulu. Mungkin bannya harus di ganti atau sebagainya. Jadi AS itu seperti mobil F1 yang harus keluar jalur juga," kata dia.


Catatan akhir


Pada 2018, Tony menilai AS cukup berbahagia karena ekonominya mulai pulih dan bisa tumbuh 2,7 persen. Namun ekonomi itu ucapnya diongkosi oleh penderitaan ekonomi dunia yang terkena imbas perang dagang yang diakukan AS.

Tetapi pada 2019, Tony yakin perang dagang akan mulai mereda setelah Presiden Donald Trump bertemu dengan Presiden China Xi Jinping belum lama ini.

"Trump kelihatan mulai melunak bahwa perang dagang tidak akan menguntungkan siapa-siapa, seluruh dunia menderita. AS sendiri menderita karena statistik terakhir tahun lalu perdagangan AS defisitnya makin besar," kata dia.

Selain itu, Tony juga yakin bank sentral AS Federal Reserve tak akan sampai menaikan suku bunganya hingga tiga kali pada 2019. Paling-paling hanya sekali.

Saat ini kata dia, suku bunga acuan AS ada di 2,5 persen. Sementara itu inflasi di AS juga ada sekitar 2,5 persen.

Baca juga: Belum Akan Naikkan Suku Bunga Acuan, The Fed Masih Wait and See

Jadi, bila The Fed ingin memberi margin untuk penabung, maka suku bunga di AS cukup naik jadi 2,75 persen tidak perlu sampai 3,15 persen.

Awalnya suku bunga AS memang akan dinaikan sampai 3,25 persen hingga akhir tahun ini. Dengan asumsi inflasi AS masih 2,9 persen. Tetapi sekarang inflasi hanya 2,5 persen.

Menurut Tony, hal ini bisa berdampak positif kepada Indonesia, terutama ke nilai tukar rupiah. Seperti diketahui, nilai tukar rupiah kerap bergejolak akibat kebajikan The Fed.

"Jadi ancaman dari AS soal suku bunga tidak akan sebesar tahun kemarin. Ini keuntungan untuk indonesia atau rupiah," kata dia.

Tak sampai di situ, Tony juga melihat AS mulai jenuh dengan New York Stock Exchange. Setelah sempat mencapai indeks harga 26.600 poin, kini secara perlahan hukum ekonomi berlaku.

Baca juga: Gubernur The Fed Khawatir dengan Pertumbuhan Utang AS

"Indeks 26.600 sudah terlalu tinggi sebab saat sebelum krisis 2008, indeks harga itu 17.000, ketika krisis  9.000, lah kok kemarin jadi 26.600. Makanya kapitalisasi Amazon dan Apple itu sempat 1 triliun dollar AS, sekarang terkoreksi," kata dia.

Dinamika ekonomi AS pada 2019 akan membuat aliran dana masuk ke negara lain, termasuk Indonesia. Hal inilah yang diyakini bisa membuat rupiah terus menguat pada 2019.

Sementara tantangan dalam negeri masih ada di defisit neraca dagang dan transaksi berjalan. Sedangkan dari sisi fiskal, Tony menilai sudah ada perbaikan yang nyata.

Salah satunya adalah rasio pajak yang meningkat. Hal ini kata dia berkat kebijakan tax amnesty atau pengampunan pajak. Dampaknya juga terasa, penerimaan pajak pada 2018 mencapai Rp 1.316 triliun, naik 14,3 persen dari 2017.

Baca juga: Dirjen Pajak Berharap Tahun Politik Bisa Dongkrak Penerimaan Negara

Melihat tantangan pada 2019, Tony optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap akan di atas 5 persen pada 2019.

"Menurut saya kalau dalam situasi dunia tertekan seperti sekarang itu, ekonomi kita masih baik," kata Tony.


Selamat jalan....

Kehadiran Tony dalam acara diskusi tak sampai akhir. Saat diskusi masih berlangsung, ia meminta izin kepada moderator untuk meninggalkan tempat lebih dulu.

Tak diketahui pasti alasan Tony pamit lebih dulu. Sebelum pergi, ia menyalami satu per satu pembicara lainnya. Saking cepatnya, wartawan pun tak untuk mewawancarainya.

Kabar duka justru datang pada Kamis (17/1/2019) pagi, Kompas.com mendapat kabar bahwa Tony telah meninggal dunia.

Ekonom senior UGM itu berpulang pada Rabu pukul 23.30 WIB di Jakarta. Rupanya pamitan pria yang meraih gelar PhD dari The Australian National University itu pamit untuk selamanya.

Kompas.com sendiri pernah mewawancarai khusus Tony pada Mei 2018 lalu. Wawancara seputar kondisi ekonomi Indonesia selama 20 tahun reformasi di kantornya di Kompleks Bank Indonesia (BI).

Tony sosok yang ramah dan tak pelit dengan ilmu. Ia juga ekonom yang selalu membuat perumpamaan untuk memudahkan masyarakat umum mengerti ilmu ekonomi.

Selamat jalan, Pak Tony...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com