Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mahendra K Datu
Pekerja corporate research

Pekerja corporate research. Aktivitas penelitiannya mencakup Asia Tenggara. Sejak kembali ke tanah air pada 2003 setelah 10 tahun meninggalkan Indonesia, Mahendra mulai menekuni training korporat untuk bidang Sales, Marketing, Communication, Strategic Management, Competititve Inteligent, dan Negotiation, serta Personal Development.

Futurism #7: Berakhirnya Era "Unbankable Society"

Kompas.com - 27/02/2019, 19:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

NGOBROL dengan orang yang tahu betul bisnis perbankan dari A sampai Z sungguh menyenangkan. Saya belajar bagaimana orang-orang seperti itu melihat angka-angka, tren, probabilitas, dan risiko-risiko perbankan dengan perspektif berbeda.

Namanya Emmanuel. Emmanuel adalah seorang bankir senior di Singapura, adalah pendiri dan CEO The Asian Banker, sebuah lembaga think-tank perbankan Asia dengan berbagai produk layanannya, termasuk jurnal, laporan riset komersial, country report, serta advisory bagi perbankan di kawasan Asia dan Pacific.

Saya mengenalnya sejak tahun 1998 saat masih tinggal di Singapura. Dalam satu kesempatan saya diminta membantunya membuat sebuah country report mengenai perbankan Indonesia pascakrisis (catatan: terbit Desember 1999 dengan judul Indonesian Banking – Reconstructing The Road to Recovery , TABI Singapore).

Baca juga: Fintech Terus Berkembang, Apakah Bank Akan Tumbang?

Yang saya pelajari dari pengetahuan Emmanuel soal dinamika institusi keuangan – dalam hal ini industri perbankan – ia sangatlah fasih. Ia berbicara seolah ia sendirilah pemilik seluruh bank yang ada di Asia Pacific. Sangat paham, lihai menganalisis, dan menunjuk dengan tepat bagian mana saja yang ia rasa perlu diperbaiki dari industri perbankan.

Di tahun 2007, lembaga yang ia dirikan dan pimpin mulai menyelenggarakan banking summit dengan brand The Asian Banker Summit (TABS). Event ini adalah ‘embahnya’ konferensi-konferensi perbankan yang membahas banyak isu dan tren di Asia.

Event TABS ini berjalan rutin setiap tahun dan berkembang menjadi event yang sangat elite dengan pembicara-pembicara industri perbankan global. Lucunya, setelah berjalan sepuluh tahun, pada tahun 2017 ia menggantinya dengan nama “The Future of Finance Summit” dan brand itu berlaku hingga saat ini.


The Future of Banking atau Finance?

Awal tahun 2017 saya bertemu lagi dengannya di kantor Asian Banker di Keppel Tower II. Dia sendiri berbicara soal keraguannya mempertahankan nama The Asian Banker Summit karena sejatinya – setidaknya menurut dia – bank atau bukan tak lagi menjadi masalah karena pelaku transaksi keuangan global non-bank juga sudah sedemikian masifnya beroperasi saat itu.

Benar juga kata dia. Dalam konteks saat ini, bukankah uang dalam sifatnya sendiri adalah digital? Bila demikian, seharusnya siapapun bisa mentransaksikannya dengan leluasa, dari mana saja, kapan saja, dengan cara bagaimana, istilahnya 24/7, dan tentu saja tak harus melalui lembaga perbankan.

Baca juga: Wapres Kalla Ingatkan Perbankan Kini Bersaing dengan Fintech

Saya yakin betul, ada keraguan dalam dirinya untuk mempertahankan kata ‘bank’ atau ‘banking’, karena dalam pertemuan para praktisi keuangan global yang ia adakan di bulan Juni 2017 itu, pasar menginginkan dibicarakannya masa depan keuangan tak hanya soal bank tapi juga mencakup institusi keuangan non bank dengan model bisnis yang sama sekali berbeda.


Bagaimana Awam Akan Melihat FinTech?

Secara awam sangat gampang dilihat bagaimana intitusi keuangan non-bank berbasis teknologi yang bernama PPL (peer-to-peer lending) bermunculan seperti jamur di musim hujan.

Ada sebagian besar dari masyarakat yang tidak serta merta mendapatkan akses ke transaksi keuangan, khususnya pendanaan, dari industri perbankan karena mereka tidak bankable – setidaknya begitu menurut standard yang dipakai oleh perbankan.

Soal bankable ini pun definisinya lemah, karena bukannya mereka tidak memenuhi semua syarat untuk mengajukan modal, tapi terkadang hanya satu dua hal trivial saja yang menjadikan mereka unbankable, misal karena tidak ada penghasilan tetap, atau tidak memiliki alamat kantor (yang memberikan penghasilan tetap) yang lebih pasti.

Sebagian pengusaha UKM yang dirintis keluarga-keluarga hingga beberapa generasi dan telah melalui pahit-manisnya bisnis tentu tak memiliki apa yang disebut sebagai penghasilan rutin. Apakah mereka miskin dan tak mampu membayar cicilan? Tentu tidak begitu cara menilainya.

Sebagian besar dari para pengusaha itu bahkan lebih cerdas dalam mengelola keuangan termasuk bagaimana memilah dana untuk membayar cicilan, memutar uang untuk pengembangan bisnis, atau untuk berinvestasi di bisnis-bisnis baru.

Mereka hanya menginginkan leverage, opsi pendanaan kombinasi dengan dananya sendiri yang membuat keputusan-keputusan korporat mereka lebih solid, dan mereka menjadi lebih percaya diri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com