Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekonom: Pemerintah Harus Berani Ambil Sikap yang Tidak Populis

Kompas.com - 21/05/2019, 15:46 WIB
Bambang P. Jatmiko

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Pekan lalu Badan Pusat Statistik melaporkan terjadinya onjakan defisit neraca dagang (trade deficit) hingga 2,5 miliar dollar AS selama April 2019 yang jauh melebihi konsensus 500 juta dollar AS.

Kondisi tersebut disebabkan oleh penurunan nilai ekspor yang lebih tajam ketimbang penurunan impor.

Kepala Makro Ekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat, membesarnya defisit neraca dagang yang tak sesuai dengan ekspektasi pasar, menjadi ‘teguran keras’ bagi Indonesia.

“Ini menunjukkan bangsa kita masih kurang produktif dan kompetitif, sehingga ke depannya berdampak pada risiko menua sebelum kaya,” kata Budi Hikmat dalam siaran pers, Selasa (21/5/2019).

Menurut dia, jika pemerintah terus memacu pertumbuhan lebih tinggi, hal ini cenderung memperburuk defisit neraca dagang yang berdampak semakin memperlemah rupiah, memperberat utang luar negeri, menekan prospek investasi pasar modal hingga melonjakkan biaya pemberangkatan calon jemaah haji.

Sikap Tidak Populis

Untuk mengatasi defisit neraca dagang ini, Budi menyarankan pemerintah berani mengambil sikap "tidak populis".

"Bahkan kebijakan ekonomi Nabi Yusuf sendiri (QS 12:47) cenderung tidak populis termasuk melalui penjatahan ransum makanan per keluarga dalam menghadapi masa paceklik. Ketika saudaranya datang dari luar negeri Mesir dengan membawa 11 karung makanan namun yang datang hanya 10 orang, Nabi Yusuf menanyakan mengapa satu orang lain tidak mengambil sendiri. Sikap penghematan ini bisa diteladani pemerintah terutama untuk berbagai konsumsi barang yang kita impor,“ ungkap Budi.

Budi merujuk upaya memperketat penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang terus menjadi penyumbang defisit neraca dagang dengan menyesuaikan harga BBM dengan harga minyak global saat ini.

Budi mencontohkan, pemerintah seperti Tiongkok dan Singapura telah menerapkan kebijakan mendisiplinkan budaya hidup hemat dan cermat, yang cenderung kurang populis. Namun, kini dua negara tersebut telah menjadi negara maju.

“Dengan menerapkan budaya hidup hemat dan cermat, manfaatnya tak hanya memberi perbankan likuiditas yang cukup untuk penyaluran kredit, tetapi juga untuk menekan defisit neraca berjalan,” papar Budi.

Adapun saat ini, lanjut Budi, para analis dan investor tengah menunggu pergantian kabinet pemerintah di pemerintah baru Joko Widodo - Ma’ruf Amin yang lebih mendorong upaya penguatan daya saing dan investasi langsung luar negeri yang masuk ke Indonesia, di antaranya seperti posisi kementerian keuangan, kementerian perindustrian, perdagangan, ketenagakerjaan, pariwisata dan pendidikan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com