Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anne of the Green Gables: Mata Air Keajaiban

Kompas.com - 23/08/2009, 02:04 WIB

Anne of the Green Gables: Mata Air Keajaiban
Meicky Shoreamanis Panggabean*

Nama Pengarang: Lucy M. Montgomery
Jenis Karangan: Novel
Penerbit :Qanita (Mizan Group), Bandung
Cetakan Pertama: Desember 2008
Tebal  Buku  : 513 halaman
ISBN:978-979-3269-86-3

“Tak ada gunanya mencintai sesuatu jika kita  harus direnggut dari mereka, betul ‘kan? Dan begitu sulit menahan diri untuk  tidak mencintai banyak hal, iya ‘kan?” (hal.70). Demikianlah pertanyaan retoris yang diajukan Anne, pengkhayal sejati berusia  11 tahun yang ingin menjadi burung camar, menganggap pingsan adalah sebuah kejadian romantis, dan memiliki dua teman imajiner yang tinggal di dalam lemari.

Anne adalah anak berkepribadian dan berpenampilan aneh yang diadopsi Matthew dan Marilla Cuthbert karena sebuah kesalahan prosedur. Mereka sesungguhnya ingin mengasuh seorang anak lelaki dan berniat mengembalikan Anne ke panti asuhan namun sepanjang  perjalanan,  tanpa ia sadari kepolosan dan keriangannya melelehkan hati Marilla dan Matthew.  Ia pun akhirnya tinggal bersama pasangan ini di rumah berpanorama  memukau yang disebut Green Gables  di Avonlea, sebuah desa yang bisa mengembalikan ingatan  kita   kepada  Little House on the Prairie,  tempat Laura Inggals lahir dan tumbuh dewasa.

Dari lokasi inilah cerita mengalir. Perpaduan antara imajinasi yang panjang dan logika  yang pendek  sering membuatnya terperosok dalam masalah  namun  ia membangga-banggakan dirinya sebagai anak yang “…tak pernah  melakukan kesalahan yang sama hingga dua kali”. Pernyataan ini  diamini Marilla dengan ketus,“…karena engkau terus membuat kesalahan baru” (hal.299). Kemurnian hatinya, kenakalannya yang kerap  dipicu oleh tekad untuk  mempertahankan harga diri serta  sikap  impulsifnya yang didorong keinginan tulus untuk  menyenangkan orang-orang tersayang membuat Anne cepat diterima oleh masyarakat setempat.

Ia berhasil membuat Matthew yang benci keriuhan jadi rajin ke kota yang ramai untuk membelikannya berbagai baju bagus, mengubah  Marilla  yang sarkastis menjadi sentimentil dan melankolis serta  mampu  membuat Josephine, perawan tua berusia tujuh puluh yang kaku, rela menginap sebulan lebih lama di Avonlea hanya karena ingin berbincang-bincang lebih jauh  dengan dirinya.

Kelincahan  dan antusiasme  Anne dalam wujud berbeda bisa kita temui   dalam diri Maria, pengasuh tujuh anak di  film   klasik  ‘The Sound of Music’ dan keliaran imajinasinya  mungkin akan mengingatkan kita kepada   Hans Christian Andersen. Adapun ketepatannya dalam beranalogi saat bicara serta kematangan berpikirnya akan membawa sebagian orang mengaitkan sosok kurus  berambut merah dan berwajah penuh bintik ini  dengan  ‘anak indigo’, sebuah  istilah yang di Indonesia kini sedang merebak menjadi topik berbagai buku psikologi.

Buku ini merekam lima setengah tahun perjalanan hidup Anne dan  mengupas  berbagai faset  kepribadiannya: Anne sebagai anak sombong akibat kompensasi dari  masa kecil yang pedih, Anne sebagai trouble-maker karena tubuhnya bergerak lebih cepat daripada  pikirannya, si anak cerdas namun bandel yang membenturkan batu tulis ke kepala teman sekelasnya serta calon guru yang rela melepaskan impiannya untuk orang yang paling ia sayangi.

Buku ini mengajak kita untuk berpetualang  ke  tempat-tempat yang Anne namai sesuai dengan imajinasinya yang unik yaitu Permadani Violet, Kanopi Kekasih  serta  Danau Air Riak Berkilau. Novel ini juga menyodorkan persahabatannya yang indah dengan Diana Barry  serta perseteruannya  dengan Gilbert Blythe, musuh bebuyutan  yang mengirimkankannya kertas berbentuk hati berisi pujian dan kelak menyelamatkan nyawanya.

Karakter Anne yang agak teatrikal, gerakannya yang serba cepat  serta penuturannya yang sulit dihentikan oleh siapapun, mungkin akan membuat pembaca yang memiliki kecenderungan untuk memvisualisasikan teks  merasa ‘terengah-engah’ ketika  membaca buku ini. Imajinasinya yang ganjil serta kegemarannnya menggunakan kata-kata  superlatif dengan intensitas emosi yang  ekstrem  juga  mungkin akan membuat  mata letih untuk sesaat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com