Bagaimanapun, dua dugaan kecil di atas tidak menghalangi edisi Bahasa Indonesia dari buku ini untuk dicetak dua kali hanya dalam dua bulan. Oplah novel ini bahkan telah mengalahkan To Kill A Mockingbird, Gone with the Wind dan Harry Potter. Hingga 2009, buku ini juga telah diangkat sebagai film televisi di Amerika Serikat, Kanada dan Inggris hingga tujuh versi dan bahkan mucul dalam format anime di Jepang pada tahun 1979. Mungkin naskah yang ditulis pada tahun 1908 ini menjadi legendaris berkat kepiawaian Montgomery menciptakan karakter Anne yang amat unik. Ia meramu kebajikan Anne, yang kerap terlalu matang untuk bocah seusianya, dengan sifat khas kanak-kanak yang polos dan menjengkelkan serta serangkaian imajinasi yang aneh. Ia juga membuat Anne melebur dengan karakter lain yang jumlahnya cukup banyak dan menyodorkan puluhan cerita dengan setting berpindah-pindah sehingga kita terhindar dari kebosanan saat membacanya.
Pada halaman bagian dalam, tertera sub judul:Novel tentang Kasih Sayang dan Pengorbanan. Saya merasa cerita melulu berputar-putar di tema kasih sayang dan kata ‘pengorbanan’ tak ada kaitannya dengan isi. Barulah di halaman 504, hanya sekitar lima lembar menjelang cerita berakhir, mata saya tertumbuk pada uraian mengenai dua pengorbanan yang menguras emosi. Di bagian inilah kata ‘pengorbanan’ menemukan relevansinya yang terdalam.
Ralph Waldo Emerson, seorang penyair Amerika, sambil tersenyum pernah mengutarakan bahwa selucu apapun seorang anak, ibunya pasti amat bahagia jika anak tersebut tidur. Mudah ditebak bahwa pasti begitu jugalah perasaan Marilla saat menghadapi tingkah polah Anne. Namun bagaimanapun bandelnya Anne, ia telah membawa kita untuk kembali meneguk obat kuno, gratis dan pasaran yang terbukti mujarab menyembuhkan di saat kita sakit menghadapi kehidupan yang rapuh dan kejam:Kasih sayang.
Anne juga mendorong kita untuk mengasah kembali kepekaan yang telah tumpul akan keajaiban yang tersembunyi di balik hal-hal sederhana. Ia mengajak kita untuk kembali menghidupkan sifat anak kecil di tubuh dewasa tempat kita berdiam dan juga mengingatkan kita untuk selalu menyadari bahwa di akhir setiap hujan selalu ada pelangi. Ketika Mrs. Rachel yang telah beranak sepuluh bertutur kepadanya,” Terberkatilah mereka yang tidak berharap apa-apa karena mereka tak akan kecewa”, anak bandel ini langsung membantah,”…tidak mengharapkan apa-apa lebih buruk daripada harus merasa kecewa” (hal.170).
Kendati kisah ini berfokus pada seorang bocah, Montgomery menuliskannya untuk pembaca dari segala usia. Sebagai guru, Montgomery yakin bahwa anak-anak adalah mata air keajaiban dan kebahagiaan yang tak akan kering kendati isinya direguk setiap hari. Dalam novel ini, keyakinannya mengejawantah dengan sempurna dalam diri Anne.
*Guru Pelita Harapan Lippo-Cikarang, Penulis ‘Keberanian Bernama Munir:Mengenal Sisi-sisi Personal Munir’ (Mizan, 2008).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.