TEMANGGUNG, KOMPAS.com - Tuhar adalah petani kopi dari Desa Tlahap, Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Dia menanam kopi di lereng Gunung Sindoro. Kopi dari lereng Gunung Sindoro ini kemudian diberi nama Kopi Posong.
Seiring dengan waktu, kopi produksinya mendapat tempat di hati penikmatnya. Permintaan pun terus meningkat, tidak hanya dari dalam negeri tetapi juga dari mancanegara. Namun pesanan itu pun terpaksa ia tolak.
Petani itu teringat betul ketika awal melakukan ekspor kopi ke Korea Selatan pada 2012 silam. Kala itu, dia da kelompok petani di desa itu berhasil mengirimkan Kopi Posong sebanyak 2 ton. Ekspor kemudian meningkat menjadi 8 ton di tahun 2014.
“Kopi Posong ini cocok dengan orang Korea, mereka minta kuota banyak, tapi kami belum sanggup. Saat ini permintaan itu kami tolak karena mintanya 2 kontainer, itu hampir 36 ton,” cerita Tuhar kepada Kompas.com, akhir pekan lalu.
Baca juga : Soto, Kopi, dan Tenun Jadi Ikon Indonesia
Tuhar khawatir, jika semua kopi diekspor ke luar negeri, pasar dalam negeri akan habis. Dia tak menampik jika pasar dalam negeri permintaannya amat tinggi.
“Pendanaan saya masih kurang. Yang dari Korea saya tolak. Tapi saya gak khawatir, kopi ini punya kualitas dan pasar dometik sudah tinggi,” ujarnya.
Kopi Posong masuk jenis kopi java arabika. Kopi itu ditanam di atas ketingian 1.300 mdpl. Selain bertani, Tuhar memiliki pengolahan hingga kedai kopi di lereng Sindoro. Kedai kopi miliknya bahkan menjadi lokasi shooting film Filosofi Kopi 2.
Untuk pasar dalam negeri, Kopi Posong dihargai lumayan tinggi. Untuk 100 gram saja, harga berkisar mulai Rp 35.000 hingga Rp 70.000. Sementara untuk jenis luwak mencapai Rp 100.000 per 100 gram.
Bibit pemberian
Kopi Posong ditanamnya sejak tahun 2000 lalu. Sebelum tanam kopi, lahan perkebunannya ditanami jagung dan tembakau. Peruntungannya kemudian berubah ketika desanya mendapat bantuan bibit kopi dari pemerintah untuk pengganti tembakau. Namun, Kopi ditanam secara tumpangsari bersamaan dengan tembakau.
“Kopi Posong ini terkenal kopi rasa tembakau,” ucapnya.
Kala itu, sambung Tuhar, ada bantuan berupa 50.000 bibit kopi untuk ditanam. Warga lalu diajak menamam karena selain menghasilkan panen, pohon kopi dapat menyimpan air, sehingga ketika musim kemarau tidak kesulitan air bersih.
“Kalau petik merah kualitasnya tiga kali lipat dari petik hijau. Makanya harganya bisa kompetitif karena kualitas. Kampanye itu baru tahun 2010. Saat ini sudah petik merah semuanya,” ucapnya.