Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peternak Sayangkan Industri Tak Wajib Serap Susu Segar Lokal

Kompas.com - 13/08/2018, 18:46 WIB
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI) Agus Warsito menyoroti diterbitkannya Peraturan Kementerian Pertanian (Permentan) Nomor 30 Tahun 2018 tentang perubahan atas Permentan Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu.

Ini terkait perubahan pasal yang tidak lagi mewajibkan Industri Pengolahan Susu (IPS) dan Importir untuk melakukan penyerapan Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) dan melakukan kemitraan demi meningkatkan produksi dan kualitas susu dalam negeri.

"Kami terkejut dan merasa terpukul sekali. Peternak tentu menyayangkan sekali perubahan peraturan menjadi Permentan 30/2018 yang menghapus semua kewajiban pelaku usaha untuk menyerap SSDN dan melakukan program kemitraan dengan peternak sapi perah lokal," kata Agus dalam pernyataannya, Senin (13/8/2018).

Padahal, setahun terakhir Kementan cukup gencar melakukan sosialisasi pelaksanaan kemitraan yang mulai diwajibkan bagi IPS dan importir.

Agus juga melihat hilangnya kewajiban menyerap dan melakukan kemitraan untuk peningkatan produksi dan kualitas SSDN akan berdampak makin terdesaknya posisi peternak sapi perah lokal.

"Saat ini serapan susu nasional saja hanya ada di angka 18 persen. Harga jual susu di tingkat peternak juga sangat rendah, kualitas terbaik hanya berkisar Rp 5.000. Jika tidak ada kewajiban menyerap SSDN, tentu peternak akan semakin terpinggirkan dan harga juga akan terus turun karena tidak ada dukungan menjaga kualitas dan produktivitas susu," sebut Agus.

Menurutnya, pemerintah perlu memberikan kompensasi jika memang tidak ada kewajiban bagi pelaku usaha memanfaatkan SSDN ataupun bermitra dengan peternak sapi perah lokal.

"Ketika ada revisi Permentan ini, otomatis keadaan kembali pada tidak adanya perhatian bagi nasib peternak sapi perah lokal. Setidaknya perlu ada kompensasi, minimal ketegasan soal perlunya bermitra dan penetapan harga yang tidak sewenang-wenang," ungkap Agus.

Dengan situasi yang ada saat ini, Agus juga melihat urgensi adanya regulasi yang lebih tegas dari sekadar peraturan di kementerian.

Susu saat ini belum masuk dalam klasifikasi barang pokok dan penting dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Salah satu alasannya karena tingkat konsumsi susu di Indonesia relatif masih rendah.

"Peternak sapi perah ini seperti dibiarkan begitu saja oleh pemerintah. Kalau tidak ada upaya dukungan, mungkin lima atau sepuluh tahun lagi tidak ada lagi peternak sapi perah lokal karena kita sudah bergantung pada impor saja untuk susu," jelas Agus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Cara Isi Saldo GoPay lewat Aplikasi DANA

Cara Isi Saldo GoPay lewat Aplikasi DANA

Spend Smart
Cara Cek Nomor Rekening BSI dengan Mudah

Cara Cek Nomor Rekening BSI dengan Mudah

Spend Smart
Harga Paket Vision+ dan Cara Berlangganan

Harga Paket Vision+ dan Cara Berlangganan

Spend Smart
Dorong Investasi di Industri Antara, Kemenperin: Kami Persiapankan 'Tax Holiday'

Dorong Investasi di Industri Antara, Kemenperin: Kami Persiapankan "Tax Holiday"

Whats New
Astra Life Catat Premi Bruto Rp 6,1 Triliun Sepanjang 2023

Astra Life Catat Premi Bruto Rp 6,1 Triliun Sepanjang 2023

Whats New
Rugi Bersih GOTO Susut 78 Persen, Jadi Rp 862 Miliar pada Kuartal I-2024

Rugi Bersih GOTO Susut 78 Persen, Jadi Rp 862 Miliar pada Kuartal I-2024

Whats New
Industri Fintech Lending Rugi pada Awal 2024, Ini Sebabnya Menurut Asosiasi

Industri Fintech Lending Rugi pada Awal 2024, Ini Sebabnya Menurut Asosiasi

Whats New
Menteri Trenggono Minta Reklamasi PIK Pakai Sedimentasi Laut

Menteri Trenggono Minta Reklamasi PIK Pakai Sedimentasi Laut

Whats New
Tren dan Peluang Investasi Kripto, Indonesia Berpotensi Pimpin Pasar ASEAN

Tren dan Peluang Investasi Kripto, Indonesia Berpotensi Pimpin Pasar ASEAN

Spend Smart
Kredit BNI Tumbuh Jadi Rp 695,16 Triliun pada Kuartal I 2024, UMKM dan Konsumer Jadi Mesin Baru

Kredit BNI Tumbuh Jadi Rp 695,16 Triliun pada Kuartal I 2024, UMKM dan Konsumer Jadi Mesin Baru

Whats New
Elnusa dan Pertagas Siap Kerjakan Proyek Kolaborasi Infrastruktur Energi di Kandis Riau

Elnusa dan Pertagas Siap Kerjakan Proyek Kolaborasi Infrastruktur Energi di Kandis Riau

Whats New
Perluasan Sektor Kredit, 'Jamu Manis' Terbaru dari BI untuk Perbankan

Perluasan Sektor Kredit, "Jamu Manis" Terbaru dari BI untuk Perbankan

Whats New
Survei BI: Kebutuhan Pembiayaan Korporasi pada Kuartal I-2024 Meningkat

Survei BI: Kebutuhan Pembiayaan Korporasi pada Kuartal I-2024 Meningkat

Whats New
Stranas Bisnis dan HAM, Upaya Pemerintah Lindungi Pekerja dalam Praktik Bisnis

Stranas Bisnis dan HAM, Upaya Pemerintah Lindungi Pekerja dalam Praktik Bisnis

Whats New
Soal Boks Mainan Megatron 'Influencer' Rusak, Ini Penjelasan Bea Cukai dan DHL

Soal Boks Mainan Megatron "Influencer" Rusak, Ini Penjelasan Bea Cukai dan DHL

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com