Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Maskapai "Curhat" soal Kondisi Bisnis Penerbangan di Indonesia

Kompas.com - 16/01/2019, 10:45 WIB
Akhdi Martin Pratama,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kenaikan harga tiket pesawat akhir-akhir ini ramai diperbincangkan publik. Sebab, masyarakat menilai para maskapai terlalu banyak mengambil keuntungan hingga membuat pengguna moda transportasi penerbangan 'tercekik'.

Mulanya, maskapai nasional berdalih kenaikan harga ini terjadi hanya karena permintaan yang tinggi saat libur Natal dan Tahun Baru 2019. Maskapai mengaku akan menurunkan harga tiket usai peak season Natal dan Tahun Baru 2019.

Setelah menuai polemik, akhirnya ketua Indonesia National Air Carrier Association (INACA) Ari Akshara membeberkan kondisi dunia penerbangan Indonesia saat ini.

Menurut pria yang juga Direktur Utama Garuda Indonesia ini, bisnis maskapai nasional dalam kondisi yang sulit. Mereka terpaksa menaikan harga tiket untuk menutupi biaya operasional yang kian melonjak.

Ari mengatakan, harga bahan bakar yang terus naik menjadi faktor utama para maskapai menaikan harga tiket. Kenaikan harga avtur itu tak dibarengi dengan kenaikan tarif batas atas yang telah ditentukan pemerintah sejak 2016 lalu.

"Komposisinya itu untuk fuel itu 40 sampai 45 persen di biaya operasional kita," ujar Ari di Jakarta, Selasa (15/1/2019).

Selain harga avtur, biaya leasing pesawat juga jadi penyumbang terbesar dalam dunia bisnis penerbangan. Untuk biaya leasing pesawat memiliki komposisi 20 persen dari keseluruhan biaya yang harus dikeluarkan maskapai.

Lalu, biaya maintenance pesawat dan gaji pegawai jadi biaya lain yang juga harus dibayarkan oleh penggelut bisnis penerbangan.

Menurut Ari, mayoritas biaya yang harus dikeluarkan maskapai berbentuk mata uang dollar AS. Dengan terjadinya fluktuasi nilai tukar rupiah makin memberatkan para maskapai.

Dari keseluruhan biaya operasional yang dikeluarkan maskapai, keuntungan yang diperoleh maksimal hanya 3 persen. Itu pun maskapai harus menerapkan harga tiket maksimal dari tarif batas atas yang ditentukan pemerintah Indonesia.

"Margin 3 persen itu paling bagus dengan harga yang selangit. Sementara kemarin saat Nataru untuk maskapai full service kenaikannya tidak lebih dari batas atas, sedangkan LCC hanya 60-70 persen dari batas atas," kata Ari.

Atas dasar itu, lanjut Ari, maskapai tak hanya bisa bergantung dengan penjualan tiket saja. Para maskapai harus memutar otak untuk mendapat keuntungan dari lini bisnis lainnya seperti kargo dan ruang iklan di dalam pesawat.

"(Jadi kalau mengandalkan) dari sisi tiket (saja) kita sudah tenggelam," ucap dia.

Hal senada pun diungkapkan Direktur Utama Citilink, Juliandra Nurtjahjo. Menurut dia, kondisi perekonomian di 2018 menyulitkan maskapai mendapat keuntungan.

Pasalnya, di tahun lalu sempat terjadi fluktuasi nilai tukar rupiah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com