Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasionalisasikan Sungai Asahan

Kompas.com - 26/07/2010, 04:33 WIB

BDSN bukan perusahaan swasta pertama yang tahu betapa menjanjikannya laba dari memanfaatkan aliran Sungai Asahan menjadi tenaga listrik. Lebih dari 30 tahun lalu, 12 perusahaan investasi asal Jepang berani menginvestasikan ratusan juta dollar AS untuk membangun dua PLTA.

Di masa Soekarno, Proyek Asahan sempat ditawarkan kepada Uni Soviet. Namun, baru pada masa pemerintahan Soeharto Proyek Asahan dibangun dengan didanai konsorsium 12 perusahaan asal Jepang. Konsorsium perusahaan Jepang ini kemudian membentuk Nippon Asahan Aluminium.

Pabrik peleburan aluminium PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) menjadi salah satu inti Proyek Asahan selain dua PLTA yang dimanfaatkan untuk pengoperasian pabrik. Dua PLTA itu dikenal dengan nama PLTA Siguragura (292,8 MW) dan PLTA Tangga (324,4 MW). PLTA Siguragura dan Tangga kemudian lebih dikenal dengan sebutan PLTA Asahan II (total 617,2 MW), yang merupakan PLTA terbesar di Indonesia.

Kembali ke Proyek Asahan, saat mulai dibangun tahun 1976, komposisi kepemilikan sahamnya 90 persen dikuasai NAA dan 10 persen milik Pemerintah Indonesia. Berbeda dengan pembangunan PLTA Asahan I yang skemanya BOO, Proyek Asahan dibangun dengan skema build operate transfer (BOT) selama 30 tahun. Dengan demikian, Pemerintah Indonesia pada tahun 2013 atau 30 tahun setelah Proyek Asahan resmi beroperasi memiliki opsi untuk mengambil alih sepenuhnya. Tentu saja Pemerintah Indonesia harus membayar nilai buku yang masih ada di Proyek Asahan kepada NAA.

Badan Otorita Asahan yang merupakan lembaga penghubung antara pemerintah dan NAA memperkirakan, nilai buku Proyek Asahan pada tahun 2009 masih sekitar 750 juta dollar AS. Berdasarkan perjanjian lama kerja sama Proyek Asahan, pemerintah harus membayar 60 persen dari nilai buku pada tahun 2013 jika ingin menguasai sepenuhnya.

Pertanyaannya, mengapa Indonesia harus merasa berkepentingan menguasai Proyek Asahan? Jawaban gampangnya, tentu karena potensi keuntungan dari pengoperasian PLTA Asahan II luar biasa.

Namun, pentingnya pengambilalihan Proyek Asahan sebenarnya bukan hanya soal laba. Proyek Asahan selama ini dinilai sebagai ironi bagi sebagian besar masyarakat Sumut. Meski PLTA Asahan II merupakan PLTA terbesar di Indonesia, listriknya tak dinikmati masyarakat Sumut. Operasional PLTA Asahan II hanya untuk kepentingan pengoperasian pabrik peleburan aluminium PT Inalum.

Maka, saat Sumut mengalami krisis listrik, keberadaan PLTA Asahan II sama sekali tak membantu. Ada sedikit transfer listrik dari PLTA Asahan II ke PLN selama krisis, tetapi itu pun PLN tetap harus membayarnya dengan mengalirkan listrik ke PT Inalum.

Menurut Sekretaris Daerah Provinsi Sumut RE Nainggolan, selama ini pemerintah daerah hanya menikmati annual fee dari PT Inalum Rp 74 miliar per tahun. Jumlah ini tak sebanding seandainya Proyek Asahan dikuasai Pemerintah Indonesia, lalu listrik PLTA Siguragura dan PLTA Tangga dijual ke PLN.

Menurut hitungan Nainggolan, jika listrik PLTA Siguragura dan PLTA Tangga dijual 4,6 sen dollar AS per kWh ke PLN, diperoleh untung hingga 120 juta dollar AS atau Rp 12 triliun setahun.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com