Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pajak Warteg

Kompas.com - 09/12/2010, 05:36 WIB

Chandra Budi

Rancangan peraturan daerah tentang pajak warung tegal yang kontroversial akhirnya diputuskan untuk ditunda oleh Pemprov DKI Jakarta (6/12).

Sebelumnya, Pemprov DKI berencana mengenai Pajak Restoran atau Pajak Pembangunan (PP) I pada seluruh warteg di Jakarta yang berjumlah sekitar 20.000-an. Secara legal, pengenaan pajak ini difasilitasi Pasal 37 sampai Pasal 41 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Lantas, mengapa pajak ini ditolak?

Sebelum rancu antara pajak warteg dan Pajak Restoran, terlebih dulu harus diketahui terminologi Pajak Restoran dan restoran itu sendiri. Menurut UU PDRD, pengertian pajak restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan restoran. Sedangkan restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan atau minuman dengan dipungut bayaran, mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung/ bar dan sejenisnya, termasuk jasa boga/katering.

Berarti warung, dalam hal ini warteg, adalah salah satu jenis restoran. Jadi, pengenaan pajak warteg sebenarnya adalah pengenaan Pajak Restoran yang obyek pajaknya warteg. Jelas sifatnya hanya perluasan saja, dari sebelumnya hanya dikenakan pada kategori restoran atau rumah makan mewah sekarang merambah ke kategori warteg. Pajak restoran, yang dikenal dengan PP I, sebelumnya telah dipungut oleh daerah dan telah lama jadi bagian dari Pajak Daerah, selain Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Hiburan, dan lainnya.

Secara yuridis, Pemprov DKI telah memiliki payung hukumnya. UU PDRD sebagai produk hukum yang disetujui DPR sudah sepantasnya dilaksanakan. Namun, tampaknya Pemprov DKI lupa satu hal: kondisi sosiologis rakyatnya. Karena istilah ”warteg” sendiri erat kaitannya dengan ketidakpunyaan. Umumnya mereka yang menikmati layanan di sana adalah masyarakat kecil berpenghasilan pas-pasan.

Pemberlakuan pajak warteg otomatis akan menaikkan harga jual ”produk” warteg. Karena ini masuk kategori Pajak atas Konsumsi, pembebanan kenaikan harga akibat pajak dikenakan kepada konsumen, yang notabene rakyat miskin, sehingga sangat wajar terjadi penolakan atas rencana ini. Efeknya sungguh luar biasa. Kalau saja rata-rata satu warteg memiliki pelanggan 100 orang atau lebih, diperkirakan ada sekitar 2 juta pelanggan yang akan menjerit atas kenaikan harga warteg. Harga jual akan naik 10 persen dari sebelumnya, yang berakibat kian banyak anak putus sekolah karena alokasi untuk biaya sekolah dialihkan untuk menambah makan sehari-hari.

Alternatif

Memang tak menutup kemungkinan ada warteg yang sebenarnya ”restoran”. Artinya, namanya saja warteg, tapi pelayanan, produk, dan tempatnya sudah masuk kategori rumah makan mewah atau restoran. Tinggal bagaimana pemprov menyusun kebijakan dalam perda sehingga kategori ini dapat terjaring; sedangkan yang benar-benar warteg tak dikenai pajak.

Pemprov dapat mengelola batas nilai penjualan yang dikenai pajak (omzet) atau variasi tarif pajaknya. Sesuai Pasal 37 ayat 3 UU PDRD disebutkan, ”Tidak Termasuk Obyek Pajak Restoran yang Nilai Penjualannya Tidak Melebihi Batas Tertentu yang Ditetapkan Peraturan Daerah”. Di sini sebenarnya pemprov dapat membedakan mana warteg yang sebenarnya rumah makan mewah atau warteg yang sebenarnya. Batasan omzet yang diajukan sebesar Rp 60 juta setahun terlalu kecil. Bayangkan warung makan mana yang tak punya omzet di atas Rp 164.000 sehari. Bahkan, warung kaki lima atau kantin sekolah sekalipun akan terjaring kalau menggunakan batasan omzet ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com