Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pelat Hitam Tidak Hanya untuk Pribadi

Kompas.com - 15/12/2010, 08:56 WIB

Menurut Faisal, akan terjadi perpindahan besar-besaran masyarakat di wilayah perbatasan Jabodetabek ke luar wilayah untuk mencari BBM subsidi. ”Dampaknya, terjadi kelangkaan di daerah sekitar Jabodetabek yang memasok BBM subsidi,” ujarnya

Ia mengatakan, lebih baik pemerintah mengkaji opsi menaikkan harga BBM secara bertahap dan merata. Dengan kenaikan secara bertahap, pemerintah bisa fokus untuk mengalihkan subsidi dari komoditas menjadi subsidi untuk sistem jaminan sosial nasional bagi masyarakat miskin.

Pengamat ekonomi Hendri Saparini mengemukakan, pemerintah dan DPR tidak memperhitungkan bahwa kendaraan pelat hitam tidak hanya digunakan untuk keperluan pribadi, tetapi juga komersial.

”Apa betul 53 persen dari kendaraan pelat hitam seperti yang disebut pemerintah itu kendaraan pribadi semua. Banyak kegiatan usaha, termasuk usaha kecil menengah, yang menggunakan pelat hitam untuk kegiatan mereka. Dampaknya akan luar biasa,” kata Hendri.

Dengan peralihan dari premium seharga Rp 4.500 ke Pertamax Rp 6.900 per liter, berarti ada kenaikan Rp 2.400 per liter yang harus ditanggung konsumen. Kenaikan biaya transportasi ini otomatis akan mendorong kenaikan biaya produksi.

Hendri mengatakan, dampak kenaikan biaya ini akan memunculkan efek bergulir luar biasa yang mengakibatkan daya beli masyarakat turun dan daya saing produk Indonesia melemah. ”Pemerintah harus ingat, tahun 2011 tahun tekanan tinggi terhadap inflasi. Dampaknya tidak sebanding dengan penghematan subsidi hanya Rp 3,8 triliun,” ujar Hendri.

Penjualan ilegal BBM

Kepala Badan Pengatur Kegiatan Hilir Migas Tubagus Haryono mengakui, bakal banyak celah praktik untuk mengakali mendapatkan BBM subsidi, penimbunan, atau penjualan BBM secara ilegal.

”Kami sudah memperkirakan, warga yang tinggal di wilayah perbatasan Jabodetabek, terutama Tangerang, bisa berupaya mendapatkan BBM bersubsidi di luar wilayah. Ini akan sulit dikontrol karena memang tidak ada aturan pembeli BBM harus sesuai domisili,” kata Tubagus.

Praktik penimbunan BBM bersubsidi untuk dijual lagi oleh pengemudi kendaraan umum juga berpotensi sangat besar. ”Apalagi kalau tidak ada pembatasan pemakaian, bisa-bisa angkot itu bolak-balik puluhan kali hanya untuk menimbun BBM. Ini yang sedang kami siapkan antisipasinya dengan menggunakan kartu kendali, pemakaian BBM kendaraan umum perlu dibatasi,” ujarnya.

Menurut Tubagus, dibutuhkan koordinasi antara BPH Migas, Gaikindo, Kementerian Perhubungan, dan Polri terkait pendataan kendaraan angkutan umum dan pengawasan penggunaan BBM bersubsidi.

Diakui Tubagus, waktu tiga bulan sebelum kebijakan diterapkan pada Maret 2011, rawan terjadi penimbunan dan praktik penjualan BBM subsidi antarwilayah. ”Ini masalah-masalah yang harus kita antisipasi mengingat disparitas harga premium dan Pertamax yang besar sekali,” ujarnya. (dot/lkt/eki/ryo/oin)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com