Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melepas Anak-Anak Jadi Warga Belanda

Kompas.com - 10/08/2011, 14:17 WIB

Keputusan anak-anak ini mengingatkan saya pada kisah hidup kakek mereka, ayah saya. Ketika berangkat pada tahun 1979, selain untuk tujuan studi, saya sebenarnya juga ingin menemani almarhum ayah yang dulu tinggal di Amsterdam. Nama ayah saya Suparna Sastradiredja. Saya tidak pernah berjumpa dengannya sejak akhir September 1965, saat ia meninggalkan Indonesia. Ketika itu, ia ikut rombongan delegasi MPRS menghadiri perayaan 1 Oktober 1965 di Peking. Pecahnya Peristiwa G30S dengan dampak gelombang penumpasan orang kiri, membuatnya sulit untuk pulang kembali ke Indonesia.

Hingga pertengahan tahun 1970-an ia tinggal di China. Walaupun semua kebutuhan hidup ditanggung pemerintah China, namun, sebagai tamu, ruang gerak orang-orang yang tertahan pulang ini sangat terbatas. Akhirnya, almarhum ayah memutuskan untuk pergi ke Belanda. Sejak ia tinggal di Belanda, baru ia bisa mulai mencari kontak, melalui surat, dengan keluarga di Indonesia. Salah satu surat yang ia kirim akhirnya sampai juga ke tangan kami.

Ayah datang ke Belanda sebagai pencari suaka. Ketika itu, permintaan suakanya ditolak. Tapi, ia boleh tinggal menetap di Belanda atas dasar kemanusiaan. Sebagai orang yang pernah aktif di bidang politik ayah selalu mengikuti perkembangan politik.  Apalagi yang melibatkan nasib para terpidana kasus urusan politik, tapol dan korban pelanggaran hak azasi manusia di Indonesia. Dan untuk berbagai aksi yang menyangkut urusan itu, ia kadang harus pergi ke luar Belanda, seperti misalnya ke Paris atau Bonn.

Karena tidak punya paspor RI, ketika itu ia mendapat paspor khusus bagi orang asing yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda. Dan bagi pemegang jenis paspor seperti ini, ketika itu belum ada Kesepakatan Schengen, untuk ke Paris pun orang harus minta visa masuk. Soal pengurusan visa ini, jelas bagi banyak orang bukan suatu kegiatan yang menyenangkan. Termasuk buat ayah. Akhirnya, sekitar awal tahun 1980an, ia memutuskan untuk mengajukan permohonan naturalisasi. Dan beberapa waktu kemudian, ia sudah jadi pemegang paspor Belanda.

Ternyata perjalanan hidup ayah mengalami saat-saat yang tampaknya tidak pernah ia bayangkan pada masa mudanya dulu. Karena, pada pertengahan tahun 1930-an, sebagai pemimpin redaksi majalah Indonesia Muda, ia pernah mendapat vonis hukuman penjara, dari pengadilan kolonial Belanda. Atas tuduhan memuat tulisan yang menyebarkan kebencian pada penguasa Belanda! Selanjutnya, pada masa Perang Kemerdekaan, antara tahun 1945 - 1949, ia aktif ikut menentang kembalinya penguasa kolonial Belanda ke Indonesia. Ia akhirnya malah menjadi warga Belanda.

Upacara Naturalisasi

 

Pada masa lalu, kalau permintaan naturalisasi disetujui, paspor baru tinggal diambil di loket Dinas Kependudukan di balaikota. Sejak beberapa tahun ini, mengikuti kebiasaan di Amerika, penyerahan dokumen dilakukan dalam suatu upacara resmi di balaikota.

Beberapa hari lalu, saya menghadiri upacara naturalisasi anak bungsu di balaikota Amsterdam. Bila memungkinkan penyerahan dilakukan oleh walikota. Tapi, biasanya cukup diwakilkan pada pejabat setingkat camat atau pejabat lain dari balaikota.

Pada dasarnya, inti upacara adalah pengucapan sumpah atau janji untuk menghormati konstitusi dan bersedia melaksanakan kewajiban sebagai warga negara. Teks lengkap sumpah atau janji dibacakan oleh pejabat balaikota, calon warga negara tinggal mengucapkan akhir pernyataan: '... zo waarlijk helpe mij God almachtig', atau atas nama Tuhan Yang Maha Kuasa  atau mengucapkan janji: '... dat verklaar en beloof ik' saya menyatakan dan menjanjikan itu.

Konon, permintaan visa masuk ke Belanda, apalagi naturalisasi, sulitnya setengah mati. Anehnya, banyak juga calon yang tampak sangat kesulitan membaca salah satu dari dua kalimat singkat tersebut. Seorang calon asal Turki terpaksa harus dibimbing kata demi kata oleh sang pejabat karena sama sekali tidak mengerti Bahasa Belanda.

Saya, istri dan anak sulung sejauh ini belum memutuskan akan menanggalkan kewarganegaraan Indonesia kami. Walaupun sang anak sulung sudah mulai mempertimbangkan juga akan melakukan hal itu. "Paling tidak mengingat masa depan anak," katanya. Dari partnernya, seorang warga Belanda, ia sekarang sudah mempunyai seorang putri. Tapi, ia masih ragu.

Saya dan istri sebenarnya sepakat, mungkin akan lebih baik jika salah seorang di antara kami mengambil kewarganegaraan Belanda. Namun, sampai sekarang, kami belum sepakat siapa yang harus mengambil langkah tersebut. Kami masih saling dorong, masing-masing masih tetap ingin mempertahankan kewarganegaraan RI.

Saya dan istri sudah tidak punya ambisi besar untuk pergi ke berbagai negeri lain. Jadi, tidak lagi terlalu memikirkan urusan visa. Kami masih lebih senang berliburan ke Indonesia. Entah bagaimana, kalau nanti anak-anak kami yang lain juga sudah punya pasangan hidup dan cucu kami makin banyak dan semuanya tinggal di Belanda. Siapa tahu!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Whats New
Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Whats New
Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Whats New
Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Whats New
Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Whats New
Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Whats New
Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Work Smart
Dukung 'Green Building', Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Dukung "Green Building", Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Whats New
Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Whats New
Kinerja Pegawai Bea Cukai 'Dirujak' Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Kinerja Pegawai Bea Cukai "Dirujak" Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Whats New
Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Whats New
Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Work Smart
Viral Mainan 'Influencer' Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Viral Mainan "Influencer" Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Whats New
Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Spend Smart
Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Spend Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com