Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

66 Tahun Ekonomi Indonesia

Kompas.com - 23/08/2011, 03:09 WIB

Saya mendukung gagasan mengurangi subsidi BBM agar negara dapat lebih banyak membangun infrastruktur yang lebih menjanjikan efek lipat ganda. Mengurangi subsidi akan memberi negara kesempatan memfasilitasi rakyat dengan cara lebih baik. Pilihan itu sekilas tampak liberal.

Sudah tepat

Tentu banyak yang perlu diperbaiki dan mestinya tiap wacana untuk memperbaiki keadaan disambut dengan baik. Sayangnya, belakangan ini berkembang debat kurang sehat dalam kita mencari format ideal pembangunan ekonomi di Tanah Air. Ada nomenklatur ”neo-lib” yang ditimpakan kepada seseorang tokoh ataupun pemerintahan. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada mereka yang tulus dan jujur berargumen bahwa pengaturan yang terlalu bebas membahayakan kehidupan rakyat, sebaiknya stigmatisasi dihindari.

Sudah tepat sikap para pendiri bangsa kita yang tak menetapkan doktrin ekonomi tertentu secara dogmatis. Hal itu menghindarkan negara mengalami ambiguitas seperti yang dialami China dan Vietnam: tetap mendaku negara komunis, tetapi ekonominya mempraktikkan liberalisme dan kapitalisme secara luas.

Saya cenderung mempertanyakan relevansi mempertentangkan ide-ide liberal-kapitalisme dengan sosialisme. Pada kenyataannya, saat ini tak ada negara yang benar-benar menjalankan secara ketat salah satunya. Di negara liberal, praktik yang sosialistis berlangsung melalui tunjangan sosial. Artinya, tujuan sosialisme dicapai melalui jalan yang kapitalistis.

Bahkan, seorang Presiden AS, Barack Obama, dicela sebagai seorang sosialis karena memperjuangkan asuransi jaminan kesehatan bagi orang miskin di negaranya. Singapura varian yang lain lagi: berpartai tunggal, tetapi bercorak liberal kapitalistis. Peran BUMN-nya sangat besar dengan tabungan masyarakat melalui Central Provident Fund yang luar biasa besarnya untuk ikut melayani kebutuhan warga.

Taiwan dan Korea Selatan yang sama-sama membangun dengan corak liberal kapitalistis juga memiliki arsitektur perekonomian yang berbeda. Taiwan adalah model ideal sebuah pembangunan yang merata. Motor pembangunan ekonominya adalah usaha kecil dan menengah. Korsel serupa Jepang yang menempatkan usaha besar sebagai motor pertumbuhan ekonomi.

Keberhasilan ekonomi Jepang, Korsel, Taiwan, dan China melalui adopsi prinsip kapitalisme-liberalisme telah membuat mereka lebih berdaulat, tak bisa didikte negara Barat. Mengelola ekonomi negara selamanya memerlukan ruang gerak yang luas. Bagi penyelenggara negara di Indonesia, hal itu dijamin konstitusi. Mengutip ucapan Deng Xiaoping: ”Tak peduli kucing itu hitam atau putih, yang penting dapat menerkam tikus”.

Dengan praktik berbeda, perekonomian masa Soekarno dan Soeharto gagal karena mismanajemen politik dan ekonomi. Mau berjalan ke mana perekonomian Indonesia nanti juga ditentukan kemauan kita membenahi sikap mental, etos kerja, dan semangat kejuangan merebut berbagai peluang di era globalisasi ini. Pemberantasan korupsi dan suap di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta di masyarakat sangat menentukan kemajuan dan kemakmuran negara dan bangsa kita.

Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Universitas Pancasila

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com