Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjaga Rupiah dari Manipulasi Valas

Kompas.com - 11/02/2013, 09:14 WIB

Direktur Currency Management Group Farial Anwar menyebut, seharusnya NDF ini tidak berpengaruh terhadap kurs rupiah. Sebab, transaksi derivatif ini tidak memiliki underlying. "Masalahnya, banyak pelaku pasar yang ikut menjual ketika asing di posisi jual. Ketika asing beli, mereka ikutan beli," imbuhnya.

Maka kenyataannya, rate NDF baru akan membawa sentimen ke perdagangan harian di dalam negeri alias onshore. Selain itu, bank-bank di dalam negeri juga banyak menggunakan acuan offshore yaitu kurs NDF dan spot USD/IDR.

Masalahnya, sudah jamak kurs tengah yang ditetapkan oleh BI berselisih dengan kurs offshore itu. Pada 11 Januari lalu, perbedaan kurs USD/IDR di Indonesia dengan offshore mencapai 2,6 persen, yang terbesar sejak 22 September 2011, menurut data Bloomberg.

Bahkan, jika kita amati yang terjadi bulan lalu, kurs rupiah sangat bergejolak di perdagangan harian pasar offshore. Rupiah terombang-ambing oleh spekulan di pasar Singapura. Ini terutama berlangsung ketika rupiah melemah.

Namun, jangan hanya menyalahkan spekulan di negeri Singa saja, karena pelaku transaksi NDF banyak yang berasal dari dalam negeri.

Sebagian dari mereka merupakan spekulan yang mencari kesempatan di produk yang jauh dari pengawasan regulator Indonesia. Sebagian lagi merupakan nasabah yang hendak melakukan lindung nilai (hedging), terlebih ketika pasokan dollar atau valas dalam negeri tipis.

"Valas tabungan banyak, tapi yang mau jual dollar sedikit," ujar Branko Windoe, Kepala Tresuri Bank Central Asia (BCA) Senin (28/1/2013). Meski NDF sangat kecil, pasar sering menjadikannya sebagai alat spekulasi.

Farial menyarankan, pemerintah dan BI memprotes Monetary Authority of Singapore (MAS), karena bank-bank Singapura mempermainkan rupiah. "Spekulan masuk ke pasar ndf melalui bank di Singapura," ujarnya.

Nurul E. Nurbaeti, Kepala Riset Divisi Tresuri Bank BNI, mengatakan pasokan dollar saat ini terbatas lantaran capital inflow masih minim. Sementara kebijakan devisa belum mampu menambah suplai. Alhasil, pasokan cuma di BI.

Selain itu, permasalahan lainnya adalah minimnya instrumen valas di dalam negeri. Ini lantaran pasar valas kita masih dangkal, masih tertinggal dibandingkan Malaysia bahkan Filipina. "Kedua negara itu pasar valasnya berkembang. Filipina karena didukung oleh transaksi remittance-nya yang besar," jelas Difi.

Contohnya saja instrumen forward USD/IDR di dalam negeri yang tersedia namun transaksinya tidak besar. Pasalnya, seringkali ketika ada permintaan valas, di sana tidak tersedia likuiditas yang bisa memenuhinya.

Langkah BI

Rupiah yang gonjang-ganjing tentunya akan ikut menggoyang ekonomi. Perusahaan-perusahaan pun terkena getahnya, antara lain karena mereka harus menanggung beban rugi kurs. Tak hanya perusahaan, pemerintah dan BI harusnya resah. Efek langsung kelabilan rupiah ini bisa terlihat dari cadangan devisa yang tergerus. Operasi moneter BI untuk menenangkan mata uang Garuda  memakan ongkos besar. Pada Januari lalu, 3,9 miliar dollar AS terkuras dari cadangan devisa Indonesia.

Maka, sekitar sepekan setelah bank sentral Malaysia melarang bank-banknya menggunakan acuan harga dari Singapura, BI mengambil langkah yang hampir sama.

Hari Rabu (6/2/2013) lalu, BI mengirim surat kepada bank-bank devisa untuk mematuhi Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 10/ 37 /PBI/2008 pasal 4 ayat 1 dan 2. BI menegaskan ulang bahwa transaksi valas harus ada underling dan penyelesaian dengan nilai penuh. Dengan kata lain, NDF dilarang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com