Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebijakan Harga BBM

Kompas.com - 02/05/2013, 02:28 WIB

Munculnya potensi menjual kembali bisa dari sisi konsumen ataupun pemilik SPBU. Insentif untuk melakukan jual-beli BBM dari pasar angkutan umum dan sepeda motor ke pasar mobil pribadi cenderung besar di suatu tempat, di mana biaya transportasi untuk memindahkan produk BBM rendah. Untuk itu, pengawasan dan ketegasan dalam penegakan hukum terhadap para pelanggar harus terus diupayakan. Sayangnya, berkaca pada pengalaman masa lalu, pengawasan dan penegakan hukum di negeri ini masih menjadi barang mahal.

Beda dengan listrik

Berbeda halnya dengan praktik diskriminasi harga yang terjadi untuk listrik. Produk listrik relatif sulit diperjualbelikan di pasar karena karakteristik produk yang secara fisik sulit dipindahtangankan sehingga tidak dimungkinkan terjadi jual kembali. Di samping itu, strategi block pricing/tariff memungkinkan terjadinya self-selection, di mana konsumen mendapatkan harga bervariasi pada level konsumsi yang berbeda.

Strategi dua harga berhasil di beberapa negara, seperti Swiss, Finlandia, Thailand, dan India. Negara-negara itu memberlakukan harga tiket transportasi publik lebih murah bagi warganya karena kontribusi mereka sebagai pembayar pajak. Oleh karena status warga negara tidak bisa dipindahtangankan, kebijakan tarif ganda ini tidak memungkinkan terjadinya jual kembali.

Menurut penulis, daripada memaksakan model dua harga yang dibahas saat ini, dalam jangka pendek pemerintah seharusnya membuat produk BBM dengan kualitas medium bagi konsumen kendaraan pribadi. Saat ini, produk BBM bersubsidi merupakan produk beroktan 88, sedangkan BBM nonsubsidi bervariasi, antara oktan 92 dan 95. Makin tinggi nilai oktan mencerminkan kualitas BBM. Ini yang menjadi alasan sebagian orang mengonsumsi BBM nonsubsidi karena BBM beroktan tinggi dipandang bisa menghasilkan pembakaran yang lebih bagus: meningkatkan efisiensi dan kinerja mesin.

Jadi, dengan membayar Rp 6.500-Rp 7.000, konsumen kendaraan pribadi seharusnya berhak mendapatkan kualitas BBM lebih bagus, misalnya BBM beroktan 90 atau yang mendekati nilai oktan BBM nonsubsidi.

Dalam jangka menengah-panjang, pemerintah harus mendorong industri kendaraan memproduksi mobil yang kompatibel dengan BBM kualitas medium atau lebih tinggi, tapi tidak cocok dengan BBM bersubsidi atau BBM beroktan rendah. Salah satu disinsentif mengurangi konsumsi BBM bersubsidi: industri membuat mobil yang jika mengonsumsi BBM beroktan rendah akan mengurangi performanya.

Tentu setiap kebijakan memiliki risiko. Potensi kebocoran di tengah lemahnya pengawasan dan penegakan hukum akan terjadi jika kebijakan dua harga bagi BBM bersubsidi ini diterapkan. Hal ini juga yang menyebabkan pemerintah gagal menerapkan kebijakan pembatasan/kuota BBM bersubsidi pada 2011 dan 2012.

Inilah beberapa pilihan rasio- nal yang tersedia bagi pemerintah: tetap memberlakukan dua harga dengan risiko kebocoran yang besar, membuat BBM berkualitas medium dengan harga mendekati keekonomian, atau menaikkan harga BBM secara bertahap seperti yang dilakukan oleh PLN untuk listrik dengan risiko dampak inflasioner yang lebih besar karena hadirnya ekspektasi. Kenaikan harga bertahap hingga harga keekonomian BBM juga harus dibarengi dengan perbaikan kualitas produk yang tecermin dari nilai oktan.

Sebenarnya momentum kenaikan BBM bersubsidi itu ada pada satu-dua tahun lalu di bulan-bulan perekonomian mengalami deflasi. Sayangnya, saat itu pemerintah tak berani. Sebaliknya, karena 2013 dipandang sebagai tahun politik, kenaikan harga BBM bersubsidi tanpa terkecuali akan menciptakan risiko politik yang sangat besar, khususnya bagi partai penguasa. Di tengah tekanan kenaikan harga beberapa komoditas saat ini, dampak inflasi akan lebih besar dari yang diperkirakan. Inilah harga yang harus dibayar pemerintah untuk sebuah keraguan!

Ainul Huda Peneliti Ekonomi FEUI

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com