Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Palupi Annisa Auliani
Tukang Ketik

Pekerja media. Dari cetak, sedang belajar online dan digital, sambil icip-icip pelajaran komunikasi politik di Universitas Paramadina.

Sindiran Jokowi buat IPB dan Paradoks Pertanian Indonesia

Kompas.com - 18/09/2017, 17:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Namun, bagi  ekonom Insitute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bustanul Arifin, ada persoalan yang lebih mendasar kalau bicara soal pertanian. Praktisi, pengamat, pengajar, dan alumnus IPB ini berpendapat, masalah keberpihakan, kebijakan, dan strategi nasional soal pertanian seharusnya lebih jadi perhatian.

Karakter pertumbuhan ekonomi saat ini, ungkap Bustanul, masih masuk kategori kualitas rendah. Dominasi sektor non-tradable semakin dominan. Sebaliknya, kinerja sektor tradable seperti pertanian dan manufaktur tak cukup bagus untuk menyerap tenaga kerja dan kreativitas pekerja.

Kepemilikan lahan pun, sebut Bustanul, makin tak setara, bahkan memburuk. Dia menyebutkan, petani dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar, meningkat hingga 56 persen pada saat ini.

Sudah begitu, akses ke sentra produksi pun relatif terbatas, sekalipun pemerintah sekarang sedang gencar membangun infrastruktur. Sejumlah kebijakan pemerintah di sektor pertanian, imbuh Bustanul, juga tak efektif. 

“Contoh, soal subsidi. Sekitar 65 persen petani miskin hanya menerima 3 persen subsidi pupuk, sementara 1 persen petani kaya menerima 70 persen subsidi pupuk, bahkan 5 persen petani kaya menerima 90 persen subsidi pupuk,” papar Bustanul.

Soal keberpihakan dan kebijakan juga dapat ditengok dari paradoks—sebutan Bustanul—impor beras. Dia menyebut, data hasil panen padi seharusnya mendatangkan surplus beras nasional. 

Praktiknya, masih ada impor beras, yang itu jumlahnya juga besar. Sudah begitu, harga beras juga cenderung masih naik dari waktu ke waktu. 

Bustanul pun menegaskan perlunya campur tangan teknologi di sektor pertanian. Bicara masa depan, kata dia, tak akan pernah bisa lepas dari tantangan teknologi ini. 

“Setidaknya, harus ada upaya peningkatan teknologi (di bidang pertanian),” kata Bustanul saat dihubungi melalui telepon, Senin.

Bentuknya, sebut Bustanul, bisa bermacam-macam, mulai dari penyediaan bibit unggul, mekanisasi, sampai ke teknologi-teknologi lain yang bisa diadopsi untuk pertanian.

Pekerja memanen sayuran selada di lahan pertanian hidroponik milik PT Hidroponik Agrofarm Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Jumat (4/8/2017). Sebagian pelaku usaha pertanian setempat menggunakan metode pertanian hidroponik (media tanam air) karena biaya operasional hariannya lebih efisien sekitar 80 persen, produktivitas hampir dua kali lipat, dan dengan harga jual hasil panen yang lebih tinggi dibandingkan pertanian konvensional dengan media tanah.ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA Pekerja memanen sayuran selada di lahan pertanian hidroponik milik PT Hidroponik Agrofarm Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Jumat (4/8/2017). Sebagian pelaku usaha pertanian setempat menggunakan metode pertanian hidroponik (media tanam air) karena biaya operasional hariannya lebih efisien sekitar 80 persen, produktivitas hampir dua kali lipat, dan dengan harga jual hasil panen yang lebih tinggi dibandingkan pertanian konvensional dengan media tanah.

Yang tak kalah penting, lanjut Bustanul, adalah soal komunikasi dari peneliti agar hasil penelitiannya sampai ke petani dan dapat digunakan. Sebaran profesi para sarjana—termasuk dari kampus dan fakultas terkait pertanian—mendapatkan relevansi sekaligus tantangan.

“Harus ada yang menghubungkan (antara dunia penelitian dan praktik). Siapa yang menyampaikan (kalau bukan mereka)?” kata dia.

Menurut Bustanul, dalam 5 tahun terakhir apatisme lulusan kampus—termasuk IPB—yang tak mau berkecimpung di bidang pertanian sudah mulai susut. Namun, ujar dia, ada pergeseran peran yang lebih besar ke ranah kreativitas dan inovasi.

“Kalau bahasa saya, (mereka menjadi) integrator. Mereka bisa menjadi penghubung kepada petani sampai ke trading, bahkan retail,” ungkap Bustanul.

Berani punya peran untuk memajukan pertanian sekalipun tak lagi berlumpur-lumpur di sawah?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com