Mimikri itu dilakukan oleh seorang individu yang lebih rendah status sosial-ekonominya merujuk pada gaya hidup kelompok yang lebih tinggi statusnya.
Buruh melakukan mimikri secara tak sadar sebagai bagian dari pengaburan kelas sosialnya. Hasilnya, mereka merasa lebih nyaman dan aman.
Baik karena kebutuhan hidup yang makin naik ataupun gaya hidup, ekonomi buruh yang defisit itu harus dicari solusinya. Lantas bagaimana koperasi dapat berperan di dalamnya?
Memoderasi biaya hidup
Saat ini serikat-serikat buruh di berbagai kota seperti Karawang, Bekasi, Bogor dan lainnya sedang berikhtiar membangun koperasi konsumen.
Keberhasilan NTUC Fairprice Singapore telah menginspirasi mereka. Fairprice merupakan koperasi terbesar di Singapura yang menguasai 65 persen pangsa pasar sektor ritel di sana.
Dengan 100 supermarket dan lebih dari 50 gerai swalayan, mereka dapat memoderasi biaya hidup masyarakat.
Kisah sukses Fairprice tak bisa dipisahkan dari gerakan buruh di sana. Pada 1973 Singapore Industrial Labour Organisation dan Pioneer Industries Employees Union merger menjadi Singapore Employees Co-operative.
Kemudian pada 1983, alih-alih berkompetisi dengan NTUC Welcome yang berdiri lebih dulu, mereka memilih merger dan berubahlah nama menjadi NTCU Fairprice Co-operative.
Kisah sukses itu juga diamplifikasi Menteri Koperasi AAGN Puspayoga pada peringatan May Day di Karawang 2017 lalu dengan launching Tomikomart.
Menteri Koperasi menyampaikan agar serikat-serikat buruh di tanah air bisa mencontoh capaian sukses NTUC Fairprice Singapore.
Swalayan koperasi yang dimiliki buruh seperti 20 gerai Tomikomart di Karawang berfungsi memoderasi biaya hidup sehari-hari. Modusnya adalah dengan lakukan efisiensi kolektif hasil dari proses joint buying atau belanja kolektif buruh.
Selain memperoleh harga yang lebih kompetitif, koperasi konsumen seperti itu juga bisa memberikan Sisa Hasil Usaha (SHU) di akhir tahun. Tentu saja seturut dengan skala dan tingkat produktivitas yang dihasilkan.
Dalam pola itu, serikat buruh dapat lakukan empat strategi. Pertama adalah dengan membangun koperasi konsumen di tiap pabrik yang belum memiliki koperasi.
Kedua bagi pabrik yang sudah memiliki koperasi, mereka didorong untuk mendirikan toko atau swalayan.
Ketiga dengan mendirikan satu primer koperasi konsumen untuk seluruh buruh tanpa bedakan asal pabrik.
Keempat dengan mendirikan sekunder koperasi konsumen yang mengintegrasikan primer-primer di berbagai pabrik. Empat pilihan strategi itu dapat dipilih secara kontekstual sesuai dengan kondisi yang ada
Secara umum semua strategi itu perlu mempertimbangkan pendirian layanan usaha (toko atau swalayan dan lainnya) agar mudah diakses buruh.
Sehingga, misalnya saja, sebuah toko atau swalayan tak harus berada di dalam pabrik bila tidak memungkinkan. Justru sebaliknya, bisa dibangun di basis-basis permukiman dimana sebagian besar buruh tinggal.
Dengan cara begitu, tingkat partisipasi anggota dapat maksimal. World Bank dalam penelitiannya tahun 2015 telah memetakan daya jangkau layanan koperasi maksimal 5 km.
Pada jarak 0-1 km daya jangkau mencapai 43 persen, 1-5 km daya jangkaunya menurun di angka 38 persen dan di atas 5 km daya jangkaunya hanya 19 persen. Prinsipnya, makin dekat koperasi, makin aktif anggota bertransaksi.
Merencanakan siklus hidup
Selain membangun layanan konsumsi untuk memoderasi biaya hidup, koperasi juga perlu mengembangkan layanan simpan-pinjam. Layanan simpan-pinjam itu harus dipahami dengan cara berbeda: simpan-pinjam bukan sekedar uang.
Sebaliknya layanan simpan-pinjam koperasi merupakan wahana bagi buruh untuk merencanakan tahap kehidupannya. Dalam cara pandang seperti ini, koperasi nampak jelas bedanya dengan lembaga keuangan lain.