Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Heryadi Silvianto
Dosen FIKOM UMN

Pengajar di FIKOM Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dan praktisi kehumasan.

Aplikasi Sudah "Online", Pangkalan Tetap"Offline"

Kompas.com - 22/11/2017, 07:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Akibatnya, terjadilah over supplied dan tren titik jenuh karena kompetisi sesama awak maupun lintas penyedia. Dampak alamiah kini bermunculan pangkalan-pangkalan.

Ojek online baru di tempat banyak konsumen berada. Ibarat pepatah, ada gula ada semut. Silahkan tengok saja stasiun, terminal, pusat perkantoran, sekolah, rumah sakit dan sejenisnya tumbuh pangkalan offline. Macet.

Di situlah kita mulai menemukan jawaban bahwa inefisiensi tidak selamanya bisa diselesaikan dengan TIK. Bukti penyedia ojek online selama ini hanya mendorong penggunaan aplikasi, namun mereka alpa dalam berperan serta merestrukturisasi tatanan fasilitas publik yang ada dan mendorong perilaku berkendara yang lebih baik.

Baca juga : Banyak Ojek Online Mangkal Dinilai Jadi Biang Kemacetan di Stasiun Tebet

Kemacetan ini bukan tidak disadari oleh pemangku kepentingan, utamanya pemerintah daerah. Seperti apa yang diungkapkan oleh Wakil Gubernur DKI Sandiaga uno terkait beberapa sebab kesemerawutan area tanah abang, salah satunya karena ojek online yang mangkal.

Atas dasar itu pula tentu moda transportasi jenis ini harus menjadi pertimbangan bagi Gubernur DKI Anies Baswedan dalam merumuskan kebijakan membolehkan ruas Sudirman - Thamrin dilewati sepeda motor.

Mengingat situasi sejenis juga terjadi beberapa daerah, karenanya dalam merespons kondisi tersebut pemerintah daerah mengambil sejumlah langkah dari mulai pembatasan hingga penataan, seperti menyediakan beberapa titik perhentian khusus.

Namun demikian, faktanya langkah-langkah tersebut belum sepenuhnya efektif sepanjang hanya dilakukan oleh satu pihak tanpa keikutsertaan jasa penyedia ojek online.

Baca juga : Atasi Macet di Stasiun Palmerah, Sandiaga Akan Panggil Bos Go-Jek dan Grab

Akibat terjadi migrasi profesi dari nonojek, maka membuka dua jenis peluang perilaku berkendara yang berubah. Hikmahnya, ada yang tertib. Namun faktanya tidak sedikit yang ugal-ugalan.

Jumlah pengemudi ojek online yang banyak ternyata tidak cukup diimbangi dengan proses rekruitmen yang memadai dari pihak penyelenggara layanan. Dengan tidak bermaksud mengambil kesimpulan secara singkat, fenomena "moral hazard" juga menghinggapi profesi ini.

Silahkan search saja di media online secara mandiri, kita dapat menemukan sejumlah kasus. Tentu bukan gambaran umum, tapi fakta itu demikian adanya.

Baca juga : Macetnya Kawasan Stasiun Tebet di Pagi Hari...

Catatan lainnya, disadari jarak tempuh ojek online lebih jauh dibandingkan ojek partikelir pada umumnya. Bisa melebihi jarak 25 km, melintasi kampung bahkan batas kota.

Terjadilah sirkulasi serta mobilitas yang dinamis dan komunal, tidak sekadar linier dan statis. Tentu saja kondisi itu memerlukan kesiapan fisik dan konsentrasi yang memadai dari awak pengemudi.


Tren naik, namun masih menyisakan masalah

Data awal 2017 dari survei tahunan Forbes terkait ‘Future of Supply Chain’ menegaskan tren pertumbuhan ‘uberization’ telah meningkat lebih dari empat kali lipat sejak tahun 2014.

Kita melihat 'uberization' sebagai kekuatan yang menciptakan nilai bagi dirinya sendiri, para pekerjanya dan penggunanya. Namun demikian kondisi ini jika tidak diintegrasikan dengan sistem yang ada, maka sejatinya ‘uberization’ akan ada di dunianya sendiri atau terjadi ‘alienasi’.

Hingga pada akhirnya apa yang terjadi seperti sekarang, industrinya tumbuh namun regulasi kesulitan menjangkau secara sempurna dan cepat beragam hal spesifik.

Platform layanan digital bisa sangat berhasil dalam menengahi beragam kesulitan jarak, namun medium ini kurang berguna saat pembeli dan penjual mengembangkan budaya yang kontraproduktif atau terjadi semacam communication gap.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com