JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengungkapkan, hingga tahun 2017 lalu rasio keuangan inklusif di Indonesia telah mencapai 63 persen dari total penduduk.
Hingga tahun 2019 mendatang, pemerintah menargetkan rasio tersebut akan meningkat menjadi 75 persen.
"Kalau 2019 target kami 75 persen, dan sekarang 63 persen. Ya di akhir tahun 2018 sudah di angka 70 persen, kami yakin," ujarnya usai Rapat Koordinasi Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) di Kementerian Koordinator Bidang Petekonomian, Jakarta, Kamis (4/1/2018).
Menurut Wimboh, jaringan telekomunikasi berperan penting dalam meningkatkan rasio keuangan inklusif di Indonesia.
Baca juga : Komentar Ketua OJK Soal Kepemilikan Asing pada Bank Lokal
Sebab, banyak daerah yang masih belum memiliki jaringan telekomunikasi yang memadai guna mendukung teknologi agen Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai).
"Teknologi harus diperluas jangkauannya dengan teknologi seluler 4G. Jadi bagi daerah-daerah yang tidak dapat sinyal, jangkauannya akan lebih luas lagi," kata Wimboh.
Selain itu, kedepan pihaknya juga akan melibatkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di berbagai daerah untuk memperbaharui data penduduk yang belum memiliki produk maupun jasa keuangan.
"Bisa juga program di mana akses sektor keuangan tersebut tidak hanya dari tabungan tetapi juga dari kreditnya, seperti kredit usaha rakyat (KUR) atau kredit kecil lainnya, bisa diidentifikasi dengan baik," jelasnya.
Baca juga : Tingkat Inklusi Keuangan Indonesia Rendah, Ini Dampak Negatifnya
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan, beberapa program pemerintah yang berkaitan langsung dengan masyarakat juga turut mendukung program inklusi keuangan. Salah satunya program bantuan sosial melalui nontunai pada 2017 silam.
"Pada 2018, jumlah penerima Program Keluarga Harapan (PKH) sebanyak 6 juta sasaran dan akan meningkat menjadi 10 juta sasaran," ungkap Agus.
Selain itu, program sertifikasi tanah yang tengah digencarkan oleh pemerintah, dalam program ini juga turut mendorong masyarakat bisa terjangkau dengan akses jasa keuangan dengan memanfaatkan sertifikat tanah sebagai agunan untuk mendapatkan pinjaman sebagai modal usaha atau kerja.
"Tanah yang dimiliki sebelum ada sertifikat suilt sekali dijadikan untuk dijadikan kesempatan untuk literasi keuangan atau akses keuangan," jelas Agus.
Baca juga : Soal Sertifikasi dan Standardisasi Produk, Indonesia Masih Tertinggal
"Sekarang sudah bisa sampai 6 juta sertifikat yang dikeluarkan. Hal ini pasti akan baik untuk awal dari akses keuangan, jadi hal-hal ini dibicarakan," pungkas Agus.