Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Identitas Digital versus Identitas Konvensional

Kompas.com - 05/03/2018, 16:00 WIB
Aprillia Ika

Editor

Sumber AFTECH

Verifikasi melalui KTP merupakan cara yang konvensional, namun mengandung banyak kelemahan. Selain itu, verifikator harus terlatih dan tersertifikasi, dimana biaya untuk mencapai kompetensi ini cukup tinggi.

Menuju Praktik Baru Identitas Digital

Oleh karena itu, muncul konsep penggunaan data biometrik, yang saat ini sudah mulai digunakan oleh beberapa layanan perbankan.

Data biometrik terdiri dari antara lain sidik jari, iris (mata) dan bentuk wajah, yang semuanya tersimpan dalam kartu chip pada KTP elektronik.

Sejumlah lembaga keuangan kini telah mulai mencoba menggunakan alat pembaca biometrik (e-KTP reader) untuk mendaftarkan nasabah baru mereka. Bahkan alat pembaca tersebut dapat juga diletakkan di titik-titik tertentu, tanpa perlu dijaga oleh verifikator.

Baca juga : Cegah Penyalahgunaan, Masyarakat Wajib Registrasi Kartu Prabayar dengan NIK

Mekanisme seperti ini sebenarnya lebih aman dibandingkan mekanisme konvensional tatap muka, karena mengurangi risiko kesalahan/kelalaian verifikator. Data pun lebih solid karena setiap orang memiliki data biometrik yang unik – tidak ada sidik jari yang sama antar manusia.

Namun demikian, mekanisme seperti ini masih memiliki keterbatasan karena pembacaan data biometrik membutuhkan perangkat pembaca (reader) yang tidak murah, baik dari segi manufaktur maupun distribusi.

Selain itu, belum terdapat kejelasan terkait hak akses penggunaan data biometrik di Indonesia. Konsep ini berbanding terbalik dengan skema di negara seperti India, dimana siapa pun dapat memanfaatkan data ini, sepanjang memenuhi semua persyaratan di bidang keamanan data dan perlindungan data pribadi.

Oleh karena itu, diperlukan peningkatan di bidang keamanan siber dan tanggung gugat (liability) atas penggunaan data pribadi apabila sistem seperti ini hendak diterapkan.

Penyusunan Data Dasar

Saat ini, Pemerintah telah membuat kemajuan besar dengan menyusun daftar nomor telepon pra-bayar yang dicocokkan dengan data KTP dan Kartu Keluarga.

Hal ini adalah langkah penting untuk memulai sistem identitas online berdasarkan nomor telepon.

Per 1 Maret 2018 (sesuai dengan tenggat waktu dari Kementerian Komunikasi dan Informatika), maka semua nomor telepon aktif di Indonesia seyogyanya sudah terdaftar dan terasosiasi dengan data kependudukan nasional.

Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah memastikan bahwa nomor-nomor telepon yang sudah terdaftar tersebut memang berada dalam penguasaan orang yang tercantum identitasnya, agar mekanisme yang dicita-citakan di atas dapat berjalan dengan baik dan inklusi keuangan di Indonesia dapat tercapai melampaui tantangan geografi dan kesempatan bertatap muka.

Tulisan ini kerja sama dengan Asosiasi FinTech Indonesia (Aftech), Kompas.com tidak bertanggungjawab atas isi tulisan. Penulis artikel adalah Ajisatria Suleiman, Direktur Eksekutif Kebijakan Publik Aftech.

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com