Beberapa tahun lalu, Lufthansa terlihat mengikuti langkah KLM dengan menunjuk Profesor Regula Dettling-Ott sebagai salah satu petingginya.
Penunjukan tersebut memperkuat premis bahwa peran akademisi semakin diperhitungkan dalam bisnis penerbangan, salah satunya untuk tujuan ekspansi.
Mungkinkah terjadi di Indonesia?
Nyatanya suatu momentum hadir di balik kisruh yang tengah terjadi di tubuh Garuda Indonesia. Peluang ekspansi berpotensi muncul dari keberlakuan ASEAN Open Skies. Sebaliknya, pemanfaatan bersama pangkalan udara untuk penerbangan komersial sipil berpotensi menimbulkan masalah.
Masih terdapat sederet potensi peluang maupun permasalahan lain yang mungkin akan optimal terlihat hanya dari perspektif akademisi. Alhasil, sinergi dengan insan akademik dibutuhkan guna menentukan arah.
Hal ini tidak hanya berlaku bagi Garuda Indonesia, tetapi juga untuk Angkasa Pura selaku pengelola bandara sekaligus salah satu pemangku kepentingan utama. Ada anggapan bahwa tidak realistis bila menyarankan agar kursi Direktur Utama Garuda Indonesia diduduki seorang akademisi.
Lantas, apakah seorang bankir atau (mantan) kapten penerbang sebagai the right man on the right place juga sulit untuk menjawabnya?
Satu hal yang pasti ialah butuh sinergi untuk menjalankan maskapai penerbangan dengan optimal.
Sangat beralasan untuk mulai mempertimbangkan kehadiran akademisi pada jajaran manajemen Garuda Indonesia, Angkasa Pura, serta para pemangku kepentingan dunia penerbangan nasional lainnya.
Perlu individu yang benar-benar memahami ilmu terkait, semacam hukum udara dan manajemen transportasi udara.
Bila diracik dengan baik, akademisi dapat berperan signifikan guna menggapai peluang. Akademisinya pun bukan sekadar akademisi, tetapi yang berjiwa ekspansionis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.