Dalam suratnya, Rini menyebutkan persetujuan prinsip bagi Pertamina untuk melakukan beberapa aksi korporasi, termasuk share down dan spin-off. Hal inilah yang dianggap sebagai upaya menjual aset-aset Pertamina, padahal tidaklah demikian.
Share down adalah aksi korporasi untuk menjalin kerja sama usaha dengan mitra strategis untuk saling berbagi keuntungan, biaya, dan risiko yang lazim dilakukan dalam industri minyak dan gas (migas).
Pertamina sudah merencanakan untuk melakukan share down dalam pengelolaan Blok Mahakam dengan menawarkan 39 persen hak pengelolaan kepada mitra strategis dan memberi profitability interest kepada pemerintah daerah. Dalam share down Blok Mahakam, Pertamina tetap memegang hak pengelolaan mayoritas 51 persen dan tetap berperan sebagai pengendali dalam pengelolaan Blok Mahakam.
Adapun spin-off adalah aksi korporasi untuk memisahkan unit usaha bisnis menjadi anak perusahaan. Seperti yang disebutkan dalam surat Menteri BUMN, unit kilang minyak di Cilacap dan Balikpapan dipisahkan untuk menjadi anak perusahaan.
Anak perusahaan itu menjalin mitra strategis untuk pengembangan kilang atau Refinery Development Master Plan (RDMP). Melalui spin-off, diharapkan perusahaan akan mendapat kucuran dana segar yang dibutuhkan untuk mempercepat proyek RDMP.
Tentu agak sulit untuk megatakan bahwa Pertamina terancam bangkrut. Dari laporan keuangan Pertamina selama lima tahun terakhir terlihat, Pertamina mencatatkan keuntungan dan mencapai likuiditas (memenuhi kewajiban jangka pendeknya) maupun solvabilitas (memenuhi semua kewajibannya).
Pada semester I 2018, Pertamina diperkirakan masih mencatatkan laba. Hanya, laba itu cenderung menurun dibanding periode sama pada 2017. Perkiraan perolehan laba tersebut didasarkan atas peningkatan produksi gas bumi sebesar 3.115 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) dan minyak bumi yang mencapai 386 juta barel per hari.
Adapun peningkatan produksi total migas mencapai sebesar 923 juta barrel setara minyak per hari.
Peningkatan produksi semestinya menaikkan pendapatan penjualan, yang memberi kontribusi perolehan laba. Namun laba diperkirakan akan cenderung turun, lantaran Pertamina harus menanggung potential loss dalam jumlah besar.
Baca juga: Kebijakan Subsidi Harga BBM Dianggap Bebani Keuangan Pertamina
Pembengkakan potential loss disebabkan Pertamina tidak dapat menaikkan harga jual Premium dan solar di tengah meroketnya harga minyak dunia, yang mencapai 74,1 dollar AS per barrel. Dalam waktu hampir bersamaan, kurs rupiah juga cenderung melemah, yang berpotensi membengkakkan biaya operasional, terutama biaya pengadaan bahan bakar minyak.
Potential loss tersebut menyiratkan peluang untuk menurunkan perolehan laba tahun 2018, tapi diperkirakan tidak sampai menyebabkan Pertamina mengalami kerugian usaha. Oleh karena itu, Pertamina masih akan menanggung potential loss dalam jangka Panjang yang berpotensi menggerus keuntungan Pertamina. Namun, ketika kerugian berlangsung secara berturut-turut dalam jangka panjang, tentu tidak mustahil Pertamina akan terancam bangkrut.
Jadi, selain harus melakukan efisiensi besar-besaran untuk menekan pembengkakan biaya operasional, Pertamina sejatinya juga memikirkan keberlanjutan ekspansi bisnisnya. Ketinbang harus melego beberapa asset strategis yang sudah ada, alangkah lebih baik bagi Pertamina untuk mempercepat realisasi kerjasama strategis yang sudah disepakati.
Sebagai contoh, PT Pertamina (Persero) dan perusahaan migas asal Rusia, Rosneft Oil Company punya kesepekatan membentuk perusahaan patungan yang akan membangun dan mengoperasikan kilang minyak baru yang terintegrasi dengan Kompleks Petrokimia (New Grass Root Refinery and Petrochemial/NGRR) di Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Rencananya, pembangunan proyek tersebut akan menelan dana investasi mencapai 15 miliar dollar AS. Nantinya, kilang akan memiliki kapasitas 300.000 barrel per hari (bph) yang akan sangat fungsional bagi Pertamina dan sangat produktif untuk menopang program strategis ketahanan energi nasional.
Pertamina melalui anak usahanya PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) dan Rosneft Oil Company melalui afiliasinya Petrol Complex PTE LTD menandatangani akta pendirian perusahaan patungan bernama PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia (PRPP).
Proyek tersebut jelas akan meningkatkan kemandirian dan ketahanan energi nasional dengan meningkatkan produksi bahan bakar minyak nasional yang berkualitas Euro V. Di sisi lain, kilang juga akan menghasilkan produk baru petrokimia.
Apalagi, pembangunan megaproyek NGRR Tuban berpotensi menciptakan lapangan kerja, dengan perkiraan 20.000 hingga 40.000 tenaga kerja pada waktu proyek berjalan dan sekitar 2.000 orang setelah beroperasi.
Namun apa lacur, geliat positif dari proyek tersebut belum terlihat. Kendala pengadaan lahan digadang-gadang menjadi salah satu penyebab utama, padahal jika pemerintah tak mampu mengadakan lahan, maka pengadaan lahan proyek tersebut bisa saja diserahkan kepada pihak ketiga, misalnya dengan membangun lahannya di atas laut atau reklamasi.
Toh, selain potensi ekonomi yang besar di atas, jika lahan proyek disediakan oleh pihak ketiga melalui reklamasi, peluang lapangan pekerjaan tambahan akan terbuka lebar dan imbas ekonominya akan semakin melebar.
Semoga pemerintah dan Pertamina segera aware dengan peluang investasi dari Rusia ini, sebelum Vladimir Putin ikut menjadi tamu di Bali saat Forum IMF Bank Dunia nanti.
Baca juga: Pertamina Jual Aset?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.