Akademisi dan praktisi bisnis yang juga guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sejumlah buku telah dituliskannya antara lain Sembilan Fenomena Bisnis (1997), Change! (2005), Recode Your Change DNA (2007), Disruptions, Tommorow Is Today, Self Disruption dan The Great Shifting. Atas buku-buku yang ditulisnya, Rhenald Kasali mendapat penghargaan Writer of The Year 2018 dari Ikapi
Saya punya banyak teman yang berprofesi sebagai politisi. Tentu saja saya bangga dengan kesungguhan teman-teman seperti Refrizal (Fraksi PKS-Sumatra Barat), Akbar Faisal (Fraksi Nasdem, Sulawesi Selatan), atau yang kini duduk di jajaran kabinet, seperti Tjahjo Kumolo, Hanif Dhakiri, Eko Putro Sandjojo dan Asman Abnur.
Mereka benar-benar aktif bekerja, menata, bersilaturahmi, turun ke bawah, melihat dengan mata kepala sendiri dan mencari solusi untuk rakyat kecil, mengawal konstitusi.
Tetapi sebaliknya saya suka tersenyum-senyum setiap kali mendengar teman-teman politisi lain yang bekerja di ladang kata, dan hanya pandai mencela. Apalagi kalau sudah berbicara soal kedudukan orang lain. Atau korporasi besar yang proses divestasinya benar-benar rumit, sulit ditafsirkan hanya dengan olah kata.
Bukannya apa-apa, kita punya pengalaman yang sangat buruk dengan karakter seperti ini. Mungkin mereka bukan "pemain utama" tetapi perspektifnya vested. Menurut kamus perubahan, vested adalah kepentingan yang tertanam kuat sekali sehingga menghambat terjadinya kemajuan (perubahan).
Baca: Luhut Sebut Pihak yang Ributkan Divestasi Freeport Tak Mengerti Dagang
Misalnya saja saat kita sedang berjuang agar gunung emas Freeport bisa segera kembali ke pangkuan ibu pertiwi, ternyata apapun diskusinya “papa tetap minta saham” dan semua eksekutif salah. Saat bangsa membincangkan manfaat E-KTP, mereka mengais-ngais kesempatan.
Demikian juga dengan proyek-proyek infrastruktur, wisma atlet dan lain sebagainya. Sampai-sampai saat memilih komisioner untuk kepentingan publik yang sudah bagus pun mereka goreng juga dengan berbagai alasan kalau konconya tidak lolos.
Mengapa Politisi Suka Berbohong?
Pertanyaan ini bukan hanya ada di sini. Menurut riset yang dilakukan Seth Stephens-Davidowitz (2017), kebohohongan itu bisa dilacak dari jejak-jejak yang ditinggalkan manusia di dunia maya. Semua orang merasa "aman" atas kebohongannya, padahal digital printingnya susah dihapus. Demikianlah ia menyimpulkan.
Saat membahas tentang masa depan ekonomi Inggris pasca-Brexit, teman saya seorang Guru Besar terkemuka Universitas Cambridge juga menandaskan hal serupa. "Selain dipakai dalam kampanye MAGA di AS, kebohongan politisi juga melahirkan Brexit," imbuhnya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanDapatkan informasi dan insight pilihan redaksi Kompas.com
Daftarkan EmailPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.