Divestasi Freeport
Tentu kita bisa melihat fenonena ini dari beragam kasus yang dibangun dengan spirit menakut-nakuti. Namun saya ingin memfokuskan diri pada bidang yang saya kuasai dan kebetulan pernah melakukan study. Dalam hal ini adalah soal divestasi Freeport.
Menarik dipelajari argumen-argumen negatif yang dibangun secara konsisten pada satu kesimpulan, apa pun juga informasinya. Misalnya saja saat mereka mengatakan, Freeport ini tak perlu diambil sekarang. "Karena 2 Tahun lagi akan jatuh tempo dan rezim berikutnya bisa mengambil alih 100 persen tanpa membayar. Kita akan usir mereka dari sini. “
Kita yang paham benar-benar geli membacanya. Bagaimana mungkin pada hari ini, seorang oknum anggota parlemen bisa berbicara masalah strategis tanpa mengerti keadaan yang sebenarnya. Mungkin, saya pikir, mereka hanya duduk-duduk manis di kursi kantornya yang empuk dan sejuk.
Alangkah indahnya kalau sebelum memberikan pendapat mereka turun ke lapangan terlebih dahulu. Itupun harus turun berjalan kaki menembus terowongan-terowongan tambang bawah tanah yang lembab, menemui para pekerja tambang atau naik ke puncak Cartenz yang tipis oksigen, melihat lubang besar yang tambangnya sudah habis, menemui para operator alat-alat berat putra daerah dan menyusuri sungai-sungai yang “katanya” telah mencemari lingkungan.
Juga lihat dan timbang teknologi pengolahan yang sudah sampai di puncak gunung, serta harta-harta tak kelihatan (intangibles) yang datang dari mancanegara.
Sekali lagi, jangan datang sebagai anggota parlemen yang terhormat yang dijamu dengan kemewahan sehingga buta terhadap ketajaman pandangan.
Dari situ kita menjadi mengerti di mana kekuatan dan kekurangan-kekurangan kita, perlu atau tidak kita berkolaborasi lintas bangsa untuk mengolah kekayaan alam. Serta, berapa besar energi dan uang yang harus dikeluarkan oleh negara untuk menjadikan kekayaan alam itu sebuah kesejahteraan.
Ya, pemimpin harus bekerja dengan validity dan reliability sehingga masa depan bangsa dapat dibawa ke jalan yang benar.
Pertanyaan selanjutnya, setelah turun ke lapangan, apakah benar kita bisa menguasai tambang itu 100 persen tanpa uang?
Baca: Genggam 51 Persen Saham Freeport, Berapa Potensi Pendapatan Indonesia?
Tentu saja bisa. Namun kita hendaknya jangan mengelabui publik bahwa yang menjadi milik kita itu semuanya. Milik bangsa kita itu hanyalah alam dan sebagian SDM-nya. Sedangkan investasi, know how dan technology bukanlah milik kita. Dan tanpa semua itu, kekayaan itu masih sebatas potensi.
Benar kata para pendahulu, hanya sebagian itu yang menjadi milik kita. Tetapi bukan 9,36 persen, dan pasti bukan 20 persen. Melainkan mungkin benar 51 persen. Karena yang 49 persen itu miliknya mereka yang mempunyai dan menanam modal berupa teknologi, know how, manajemen dan supply-chain.
Jadi mengapa harus membohongi publik bahwa kita bisa menguasai Freeport 100 persen tanpa harus keluar uang?
Ini baru kebohongan pertama. Belum lagi telusuran kontrak-kontrak kerja, dan perijinan yang selama bertahun-tahun mengandung banyak tafsir yang kalau dibawa ke dalam pengadilan internasional, mungkin harus kita ukur betul kemungkinan-kemungkinannya.