JAKARTA, KOMPAS.com - Perang dagang antara Amerika Serikat dan China diprediksi akan terus berlanjut meski kedua bela pihak akan melakukan pertemuan pada KTT G20 di Buenos Aires, Argentina pekan ini.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Presiden ke-11 Boediono mengatakan, perang dagang antara dua negara ekonomi raksasa ini akan memberikan dampak positif dan negatif bagi perekonomian Indonesia.
Menurut dia, ekspor yang menjadi salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan menurun. Pasalnya, AS dan China merupakan dua negara pangsa ekspor utama Indonesia.
Dengan diterapkannya tarif impor oleh Amerika Serikat dan China terhadap beberapa produk ekspor masing-masing negara, terdapat kemungkinan negara-negara penghasil barang-barang yang diberi tarif impor mereka mencari pasar baru, termasuk ke Indonesia.
Baca juga: Indonesia Akan Angkat Isu Perang Dagang di KTT G-20
"Negara penghasil barang-barang ini yang dulunya bisa masuk ke Amerika atau negara yang biasa membeli, karena ada rambu-rambu tarif dan sebagainya mereka mencari pasar baru sehingga harus siap ada serangan ini dipasarkan ke kita," ujar Boediono dalam acara KataData Forum di Jakarta, Rabu (28/11/2018).
Namun, tidak menutup kemungkinan perang dagang memberikan dampak positi ke Indonesia. Sebab, dengan berlakunya tarif impor tersebut akan menekan ongkos produksi untuk produk-produk buatan pabrik China.
Sehingga, diharapkan arus investasi dapat mengalir ke negara-negara yang dianggap aman seperti di Indonesia.
"Tapi ada yang positif. Misal China tidak bisa produksi atau pabrik-pabriknya enggak bisa produski karena made in China investasi ini bisa bergerak ke Indonesia. Moga moga aja ada," jelas mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) ini.
Baca juga: Ada Perang Dagang, Perusahaan Indonesia Tetap Optimistis
Boediono juga menjelaskan, perang dagang yang terjadi antara lantaran ekonomi dunia memang rentan terhadap krisis. Sebab, ekonomi global menganut sistem ekonomi pasar atau kapitalisme dengan rambu-rambu abad ke-19 yang tidak terkoordinir.
Tidak seperti ekonomi nasional dengan pemerintahan dan rambu-rambu yang jelas. Menurut Boediono, tidak ada yang benar-benar bisa bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada perekonomian global.
"Oleh sebab itu rawan terhadap krisis kalau ekonomi nasional kita punya institusi yang bisa koordinasikan secara baik kebijakan makro, fiskal, moneter, structural reform dan sebagainya itu bisa menurunkan risiko dari instabillitas maupun krisis dalam satu ekonomi. Di global enggak ada ini, jadi enggak ada yang tanggung jawab atas perkembangan krisis, semua bingung, enggak ada yang bisa koordinir," ujar dia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.