Pertama, perlu dipahami bahwa hakikat PT PLN sebagai BUMN pengemban amanah konstitusi dan merupakan satu-satunya badan publik yang ditugaskan untuk menyelenggarakan penyediaan infrastruktur ketenagalistrikan.
Kedudukan ini jelas berbeda dari badan usaha selain PT PLN, yang menurut UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan hanya berpartisipasi membantu penyelenggaraan ini.
Kedua, luasan wilayah usaha PT PLN jelas jauh berbeda dengan luasan wilayah usaha badan usaha lain. Saat ini setidaknya terdapat 25 wilayah usaha ketenagalistrikan di luar wilayah PT PLN.
Seluruh badan usaha tersebut perlu membuat RUPTL sebagai rencana kerja mereka. Namun, perlu dipahami bahwa luasan wilayah usaha PT PLN adalah hampir melingkupi seluruh wilayah Indonesia, kecuali untuk wilayah usaha badan usaha lain ini yang rata-rata hanya sebuah kawasan industri. Dengan demikian, PT PLN memiliki tanggung jawab kepada publik yang jauh lebih besar dibandingkan badan usaha lain.
Ketiga, materi muatan dalam RUPTL PT PLN juga mencakup peluang investasi atau kerja sama dengan pihak swasta yang jauh lebih besar daripada badan usaha lain.
Belajar dari perkembangan di negara lain, mekanisme partisipasi publik dalam perencanaan proyek ketenagalistrikan yang bersifat implementatif, seperti RUPTL, sebenarnya telah dilakukan di berbagai negara.
Di Amerika Serikat, misalnya, perencanaan proyek ketenagalistrikan yang menjadi bagian dalam integrated resources planning (IRP) dianggap sebagai proyek yang memiliki dampak ekonomi dan lingkungan yang signifikan.
Badan usaha di Amerika Serikat telah menyadari bahwa proyek ketenagalistrikan ini memiliki dampak yang besar bagi kehidupan masyarakatnya.
Oleh karena itu, perencanaan ini perlu disusun secara transparan dan melibatkan partisipasi publik sejak awal dan dalam menentukan setiap keputusan.
Dalam hal ini, draf final dari IRP akan dipublikasikan kepada publik, sehingga publik sebagai pihak yang berkepentingan, dapat memberikan komentar, masukan, ataupun informasi tambahan yang menjadi pertimbangan badan usaha terkait dalam menyempurnakan IRP tersebut.
Namun sayangnya, di Indonesia prosesnya belum dilakukan terbuka seperti itu. Bahkan, publik pun kesulitan untuk mengakses draf final dari RUPTL sebelum disahkan.
Publik hanya mendapatkan sosialisasi setelah RUPTL disahkan. Adapun keterlibatan ini dinilai terlambat dan tidak layak dianggap sebagai bentuk keterlibatan masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa selama mekanisme partisipasi publik tidak difasilitasi dalam penyusunan RUPTL, unsur pengawasan eksternal akan semakin melemah dan peluang adanya penyediaan proyek ketenagalistrikan yang tidak akuntabel semakin terbuka lebar.
Padahal, PT PLN perlu mempertanggungjawabkan kepada publik bahwa sebagai satu-satunya badan usaha milik negara yang bertugas untuk menyediakan infrastruktur ketenagalistrikan di Indonesia, mereka telah menyusun kebijakan dengan mengedepankan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berangkat dari hal tersebut, setidaknya ada tiga hal yang perlu didorong ke depan. Pertama, Kementerian ESDM perlu memprioritaskan pengesahan Rancangan Peraturan Menteri tentang Tata Cara Penyusunan RUPTL.
Kedua, partisipasi publik secara layak pun perlu diakomodasi dalam perencanaan ketenagalistrikan. Mekanismenya perlu diperjelas dalam rancangan peraturan menteri terkait.
Ketiga, selama mekanismenya belum ada, Kementerian ESDM dapat memulai inisiatif perencanaan ketenagalistrikan dengan memublikasikan draf final dari Rancangan RUPTL PT PLN sebelum disahkan setiap tahunnya dalam laman kementerian terkait.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.