Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekonomi China Melambat, Bagaimana Dampaknya ke Indonesia?

Kompas.com - 09/01/2019, 13:10 WIB
Mutia Fauzia,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Masih belum rampungnya negosiasi perdagangan antara Amerika Serikat dan China menjadi perhatian bagi pelaku ekonomi dunia.

Disadur dari CNBC yang mengutip Reuters, Rabu (9/1/2019), delegasi Amerika Serikat dan China saat ini telah berada dalam tahap di mana kedua belah pihak berhasil mengerucutkan perbedaan pendapat, dan proses negosiasi akan dilanjutkan hari ini waktu setempat.

Sebagai catatan, China dan Amerika Serikat dalam satu tahun belakangan tengah berada dalam konflik perdagangan dengan saling balas tarif impor sebelum akhirnya memutuskan untuk melakukan gencatan tarif.

Akibat dari eskalasi perang dagang antara AS dan China tersebut, pelaku pasar dunia memperkirakan ekonomi China akan melandai di kisaran 6,2 perse tahun ini, jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi 2018 yang diperkirakan sekitar 6,6 persen.

Baca juga: Ekonom Prediksi Pertumbuhan Ekonomi China di Bawah 6 Persen

VP Economist PT Bank Permata Tbk Josua Pardede pun memperkirakan, dampak dari melandainya perekonomian China akan memengaruhi neraca perdagangan Indonesia yang hingga November lalu masih defisit hingga 2,05 miliar dollar AS.

Pasalnya, China merupakan salah satu pangsa ekspor terbesar Indonesia dengan kontribusi ekspor non migas ke China sebesar 15 persen dari total ekspor Indonesia.

"Laju ekspor Indonesia ke China diperkirakan akan cenderung melandai ke kisaran 15 hingga 20 persen dari tahun lalu yang diperkirakan tumbuh sekitar 20 hingga 25 persen (yoy)," ujar Josua ketika dihubungi Kompas.com, Rabu (9/1/2019).

Baca juga: Ekonomi China Memburuk, Lapangan Kerja Tergerus

Tak hanya ekspor, kinerja impor juga diperkirakan akan melambat jika dibandingkan dengan tahun lalu yang diperkirakan tumbuh sekitar 22 persen.

Untuk impor nonmigas, turunnya pertumbuhan impor disebabkan tren penurunan harga minyak dunia setelah mencapai harga tertingginya di pertengahan 2018 yang mencapai 80 dollar AS per barrel, sementara untuk impor non migas dipengaruhi aktivitas investasi yang cenderung moderat.

"Selain itu, mempertimbangkan transmisi kebijakan moneter BI di mana pada tahun lalu BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 175 basis poin (bps) diperkirakan akan mempengaruhi laju konsumsi domestik yang selanjutnya akan membatasi impor," jelas Josua.

Walaupun demikian, ujar Josua, pemerintah telah mengantisipasi potensi penurunan ekspor China dengan menjalin hubungan kerja sama perdagangan dengan beberapa negara non-tradisional seperti Afrika dan Amerika Latin sehingga tetap dapat menopang kinerja ekspor.

"Dengan demikian, defisit transaksi berjalan pada 2019 ini diperkirakan akan menyusut ke level -2,5 persen hingga -2,7 persen terhadap PDB dari posisi CAD 2018 yang diperkirkan mencapai -3 persen terhadap PDB," jelas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com