JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Keuangan Sri Mulyani menganggap rasio utang Indonesia masih berada di level aman. Hal ini terkait imbauan Dana Moneter Internasional (IMF) agar negara-negara perlu memitigasi beban utang.
Baru-baru ini, IMF merilis laporan outlook ekonomi dunia yang menurunkan target pertumbuhan ekonomi global. Di dalam laporan tersebut, IMF menyatakan perlu kerangka kerja makroprudensial yang kuat untuk mengatasi beban utang.
Menurut Sri Mulyani, peringatan IMF itu hanya berlaku bagi negara-negara yang rasio utangnya tinggi.
Baca juga: Akhir November, Utang Luar Negeri RI Naik Jadi 372,9 Miliar Dollar AS
"Kan ada negara advanced country (negara maju), bahkan di Eropa yang debt to GDP ratio (rasio utang terhadap produk domestik bruto/PDB) itu sudah di atas 60, ada yang 80, bahkan 100 persen. Negara-negara seperti itu mereka pasti melakukan konsolidasi fiskal," ujar Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (22/1/2019).
Selain itu, di negara berpendapatan rendah, ada lebih dari 40 negara yang utangnya sudah di atas 100 persen.
"Indonesia, kalau Anda bandingkan, utang kita terhadap GDP masih di 30 persen," kata Sri Mulyani.
"Untuk standar internasional itu rendah sekali," lanjut dia.
Baca juga: Gubernur The Fed Khawatir dengan Pertumbuhan Utang AS
Sri Mulyani mengatakan, sepanjang 2018 kondisi makroekonomi Indonesia masih positif. Pertumbuhannya masih di atas 5 persen, inflasi terjaga di level 3 persen, dan defisit APBN yang lebih rendah sebesar 1,76 persen. Angkanya termasuk kecil dibandingkan negara lainnya.
"Di negara-negara lain yang debt to GDP ratio-nya di atas 60 persen, tapi defisitnya bisa 2 persen, seperti Italia," kata Sri Mulyani.
Negata-negara tersebut, kata dia, harus menjaga keseimbangan fiskalnya dengan mengurangi defisit serta mengurangi utangnya. Harus ada strategi yang tepat untuk mengurangi utang dan defisit, sementara di sisi lain pertumbuhannya jangan sampai melemah.
Sebab, jika pertumbuhan ekonominya turun, rasio utang tidak akan turun. Untuk negara-negara tersebut, tantangannya yakni bagaimana menciptakan pertumbuhan cukup tinggi, namun defisit dipersempit.
"Nah, Indonesia sekarang growth (pertumbuhan ekonomi)-nya sudah di atas 5 persen, defisitnya di bawah 2 persen. Jadi tidak relevan buat Indonesia statement itu," kata mantan Direktur Bank Dunia itu.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.