Saat kita sedang menjelajah hutan, gunung maupun berlayar, memegang kompas ini seperti menjadi pegangan yang lebih penting daripada uang di dompet kita. Kita berharap, kompas itu menunjukkan kita arah perjalanan yang tepat, yang akurat, sehingga kita tidak tersesat.
Masalahnya, kompas itu sebenarnya tidak dengan tepat menunjukkan arah utara sejati (true north) yang merupakan sumbu perputaran bumi. Tapi, mengapa harus ada dua referensi berbeda yang dianggap sama-sama mewakili kebenaran tertentu? Mengapa tak dilipat saja jadi satu, atau pilih salah satu, dan patenkan sebagai ‘the real true north’. Saya termenung sejenak.
Kata ‘true’ sudah terlanjur dipakai di mana-mana, bahkan dalam penamaan akun-akun media sosial. Seperti sahabat kita Mukijo tadi, karena akun bernama ‘mukijo’ sudah berseri-seri, Mukijo sahabat kita ini tak rela menomori nama akunnya dengan ‘mukijo28’ atau ‘mukijo1975’, lalu ia putuskan untuk memilih nama akun ‘truemukijo’.
Celakanya, nama ‘truemukijo’ sudah dipakai orang lain. Sejam kemudian ia berhasil memilih nama akun ‘therealandtruemukijo’. Mukijo puas. Dan seperti kita duga, sama dengan ‘true north’, tak ada yang benar-benar bisa meyakini benar apakah referensi itu benar-benar mewakili ‘suatu kebenaran’.
Seperti di seri Cool Village sebelumnya yang saya tulis di media digital ini, saya selalu tergerak untuk menjaga optimisme penduduk ‘desa kecil’ bernama Indonesia ini, tertutama anak-anak mudanya, untuk selalu peka terhadap hal-hal positif dan benar (real truth).
Setiap hari kita dihujani dengan 2,5 quintilion bytes data/informasi (ref: forbes.com), itu angka 2,5 dengan 15 angka nol di belakangnya!
Jadi, bagaimana mungkin kita bisa memilah mana informasi yang layak diandalkan sebagai referensi sahih, valid dan dapat dipertanggungjawabkan?
Teknologi AI (artificial intelligence) dan ML (machine learning) mungkin mampu memilah-milahnya untuk kita, tetapi hanya kebijaksanaan kita yang mampu memahami dan menyikapi data atau informasi tersebut.
Kasus perburuan butiran emas di dusun Mukijo tak harus terjadi di desa kecil kita ini. Dan biarlah masing-masing kita bisa meminjam semangat bersumpah ‘the truth, the whole truth, and nothing but the truth’ sebelum kita berucap, bertindak bahkan sebelum bereaksi dalam pikiran kita.
Bangsa ini sedang ditempa semesta, sebagian mungkin tak lulus karena satu dan lain hal, tetapi bila sebagian besar ‘penduduk desa’ yang keren ini mau dan berkomitmen berbuat hanya untuk kebaikan seluruh penduduk desa, tak ada yang tak mungkin.
Sambil menikmati singkong goreng dan kopi di sore hari, saya merenungkan kembali kata-kata Albert Einstein, “If you are out to describe the truth, leave the elegance to the tailor.”
Lalu saya membayangkan betapa kecewanya Mukijo mendapati banyak penduduk yang membawa macam-macam ikan tangkapan dari sungai di dusunnya, sementara ia bahkan tetap menganggur tak tahu harus mengerjakan apa.
Memang tak ada butiran emas ditemukan di sungai, tapi, bukankah alam semesta ini adil? Setiap daya upaya dan kebaikan pasti – sesuai hukum tabur tuai – memberikan reward terbaik bagi kita.
Semoga.