Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KILAS EKONOMI

Memprediksi Keuntungan Inalum Usai Mencaplok Freeport

Kompas.com - 15/02/2019, 17:03 WIB
Auzi Amazia Domasti,
Kurniasih Budi

Tim Redaksi

Salah satu kesepakatan terkait harga yang pembahasannya cukup alot antara pemerintah, Inalum, dan FCX, yang berkedudukan di Amerika Serikat, adalah terkait hak partisipasi (participating interest) sebesar 40 persen yang dimiliki Rio Tinto Di PTFI. Rio Tinto sendiri merupakan raksasa pertambangan Australia dan Inggris.

Hak partisipasi tersebut sudah dikonversi menjadi saham di PTFI sebagai upaya Indonesia mengendalikan saham mayoritas sebesar 51 persen di perusahaan tersebut. 

Dikutip dokumen Inalum, skema hak partisipasi tersebut intinya memberikan hak atas hasil produksi dan kewajiban atas biaya operasi PTFI sebesar 40 persen sampai 2022 dengan batasan produksi tertentu (metal strip).

Mulai 2023 Rio Tinto akan mendapatkan hak dan kewajiban penuh sebesar 40 persen dari produksi tanpa batasan tertentu hingga 2041.

Kerjasama operasi ini walau tidak mempengaruhi komposisi saham PTFI, tetapi dapat mempengaruhi komposisi pembagian hasil produksi PTFI.

Misalnya, jika produksi PTFI 100 ton, maka Rio Tinto akan langsung mendapat 40 ton dan sisa 60 ton dibagi antara Inalum dan FCX yang hasil akhirnya tercermin dalam deviden.

“Jika masalah hak partisipasi ini tidak diselesaikan maka setelah 2022, Inalum dan FCX hanya mendapatkan 60 persen dari produksi PTFI karena 40 persen sudah langsung dialokasikan untuk Rio Tinto,” kata Rendi.

Skema kerjasama operasi antara Rio Tinto dan FCX tersebut sudah disetujui oleh pemerintah Indonesia sejak zaman Soeharto berkuasa.

Pada era orde baru, Menteri ESDM IB Sudjana dan Menteri Keuangan Marie Muhammad secara tertulis menyetujui kesapakatan tersebut pada 1996.

Karenanya, persetujuan ini pun menimbulkan kesulitan yang mesti segera diselesaikan.

“Sulit membayangkan bahwa kedua menteri senior ini memberikan persetujuan tanpa kajian hukum yang lengkap,” kata Rendi.

Informasi terkait kerjasama tersebut sudah ada dalam laporan keuangan tahunan audited FCX dan PTFI sejak 1996.

Sebagai perusahaan terbuka, FCX setiap tahunnya mencantumkan informasi tersebut di laporan tahunannya yang dapat diunduh di website mereka.

Salah satu isu yang dipermasalahkan juga terkait dengan kerjasama Rio Tinto yang mengecualikan Blok A dalam skema tersebut. Blok A adalah konsesi yang dioperasikan oleh PTFI.

“Mengenai anggapan kerjasama Rio Tinto hanya berlaku di Blok B. Ini terjadi karena kekurang telitian para pengamat dalam membaca surat Menteri ESDM IB Sudjana yang memberikan persetujuan ke Rio Tinto di atas volume "metal strip" tertentu untuk Blok A. Mungkin karena surat ditulis dalam Bahasa Inggris jadinya mereka bingung,” kata Rendi. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com