JAKARTA, KOMPAS.com – Wajib pajak yang tidak ikut program tax amnesty terancam terkena sanksi pajak tinggi. Sebab, harta yang pajaknya belum dibayar dan tidak dilaporkan di Surat Pembetahuan Tahunan (SPT), akan dinilai sebagai penghasilan tambahan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) 36 Tahun 2017, harta tersebut akan dikenakan tarif PPh final 12,5 persen untuk wajib pajak tertentu, 25 persen untuk wajib pajak badan, dan 30 persen untuk wajib pajak orang pribadi.
Tak sampai disitu, ketentuan Pasal 18 Undang-undang Pengampunan Pajak juga menyatakan, harta yang belum dilaporkan tersebut akan dikenai sanksi administasi perpajakan sebesar 200 persen.
Khawatir
PP 36 Tahun 2017 yang menjadi turunan UU Pengampunan Pajak justru menimbulkan kekhawatiran baru.
Pada Pasal 5 aturan baru itu, disebutkan bahwa nilai harta bersih non kas justru ditentukan oleh Ditjen Pajak. Padahal di dalam pelaporan harta, nilai harga ditentukan oleh wajib pajak.
Hal ini terjadi karena sistem perpajakan di Indonesia menganut prinsip self assesment. Self assesment adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang berdasarkan peraturan berlaku.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani menilai perbedaan cara menghitung harta itu bisa membuat petugas pajak dan wajib pajak saling gontok-gontokan. Sebab masing-masing pihak punya hitungan masing-masing.
Solusinya
Sadar PP 36 Tahun 2017 memiliki celah, Ditjen Pajak lantas mengelurkan Surat Edaran Nomor SE-24/PJ/2017 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Harta Selain Kas yang Diperlakukan atau Dianggap Sebagai Penghasilan.
Aturan itu mengatur bahwa penilaian harta selain kas pasca tax amnesty dilakukan sesuai kondisi dan keadaan harta tersebut pada 31 Desember 2015.
Dengan begitu maka wajib pajak dan petugas pajak bisa memiliki pegangan dalam menilai harta yang tidak dilaporkan di dalam SPT.
Misalnya untuk harta jenis tanah atau bangunan sektor perdesaan dan perkotaan, maka nilai hartanya sama dengan nilai jual objek pajak sesuai Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun 2015.
Atau bila harta tersebut yaitu kendaraan bermotor, maka nilai harta sama dengan nilai jual kendaraan bermotor tahun 2015 sesuai acuan nilai dari pemerintah daerah setempat.
“Dengan terbitnya Surat Edaran ini, seluruh petugas pajak memiliki standar yang sama dalam melaksanakan penilaian harta,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama dalam siaran pers, Jakarta, Kamis (28/9/2017).
“Bagi wajib pajak, hadirnya standar penilaian ini memberikan kepastian serta menjamin prosedur penilaian yang objektif, sehingga dapat mengurangi potensi terjadinya sengketa antara petugas pajak dengan wajib pajak,” sambung Hestu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.