Mungkin beginilah respons sebagian orang saat diwajibkan melakukan sesuatu yang baru. Termasuk pembayaran nontunai, menggunakan helm (bagi pemotor) atau sabuk pengaman (pengemudi mobil), menyalakan lampu (sepeda motor) saat mengemudi, mengikuti aturan three in one dan seterusnya.
Amir, 20 tahun yang lalu, masih duduk di kelas satu SMP. Hari pertama masuk sekolah, Amir gelisah. Mukanya masam. Teman-temannya, selain anak komplek tentara yang menjadi tetangganya di seberang sekolah, terlihat menjauh. Wali kelas yang menyapanya tidak disambut hangat.
Tak banyak yang tahu hari itu Amir memakai sepatu baru. Namun berbeda dengan sepatu baru yang dipakai teman-temannya, sepatu Amir adalah pilihan ibu. Ia kesal bukan karena modelnya, melainkan karena yang memutuskan untuk memakainya orang lain. Dalam hal ini Amir menyalahkan ibunya.
Tak enak melawan ibu, Amir pun melimpahkan kekesalan dan rasa sakitnya pada guru dan teman-teman terdekatnya. Amir marah-marah, bicaranya tak enak didengar.
Psikologi Permulaan
Bersimpuh di pusara ibunda Amir sesenggukan menangisi perbuatannya 20 tahun lalu.
Amir kini adalah dosen di sebuah sekolah bisnis yang mengajarkan cara nembesarkan start-up. Ia selalu berpesan pada mahasiswanya, “ingat ya, yang susah itu selalu hanya awalnya saja."
Entah dari mana literaturnya, ia menyebutnya sebagai psikologi permulaan. “Ya,” ujarnya.
“Setiap permulan itu pasti mengalami kesulitan. Saya 20 tahun yang lalu pun merasakan, saat dipaksa ibu memakai sepatu baru, sakitnya minta ampun. Belakangan saya jadi tahu bahwa sepatu baru yang pas di kaki awalnya selalu menyakitkan. Ini saya pakai sepatu yang dari awal sudah enak, ternyata yang enak itu malah kelonggaran, jalannya jadi kurang gagah.”
Amir lalu melanjutkan kuliahnya sambil bercerita tentang seseorang juragan sapi yang mempunyai bisnis pemotongan hewan di daerah Ujung Aspal Bekasi.
"Pak Sanin," lanjutnya, "adalah pengusaha ternak potong terbesar di Jabodetabek. Namun masalahnya, sedari muda sampai sekarang, ia harus bekerja dari jam 8 malam hingga pukul 6 di pagi hari.
Malam hari sapi masuk mesin jagal, lalu dini hari pedagang daging dan bakso sudah antre di rumah pemotongan hewan miliknya.
“Tak ada yang memaksa untuk menjadi tukang jagal. Kalau pekerjaan ini bau, mengantuk dan meletihkan mau menyalahkan siapa? Sakitnya karena kita yang mau sendiri,” ujarnya.
Ia mencontohkan, para pemilik mobil yang berceloteh di media sosial tentang antrean di pintu tol.
“Dikasih yang lebih bagus mereka melawan, maunya tetap bayar tunai di antrean yang semakin panjang. Sebentar mereka mempersoalkan kartu yang tidak lancar, padahal mereka pinjam sama mobil di belakangnya sehingga yang lain terganggu."
"Lalu ada yang mempersoalkan Undang-undang. Katanya alat pembayaran yang sah hanya rupiah. Padahal uang elektronik itu juga rupiah. Ada lagi yang mempersoalkan tenaga kerja yang bakal menganggur. Padahal sebagian dari mereka bakal pindah ke control room yang tak lagi harus menghisap karbon knalpot tuan-tuan besar yang duduk manis di dalam mobil. Mereka marah karena, 'sakitnya' dipaksa orang lain,” tambahnya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.