"Nanti ada yang tersinggung," begitulah komentar seorang eksekutif di tahun 1999. Suasanya kala itu Indonesia sedang serba sulit.
Badai krisis multidimensi baru saja melanda negri. Ekonomi dan politik sama susahnya. Apalagi buat armada berbendera nasional: Garuda Indonesia.
Tetapi mengklaim sesuatu yang kini lebih baik, dan faktanya akan demikian kalau transformasi dilakukan dengan baik, selalu mengundang kegelisahan dan amarah pemimpin-pemimpin yang berkuasa (dan belum selesai) di masa lalu. Padahal kini, hari ini selalu harus lebih baik dari kemarin.
Lalu apa salahnya?
Salahnya, mereka yang berkuasa kemarin merasa dizolimi, dikata-katai seakan dulu mereka hanya menikmati. Tidak bekerja sehingga mengesankan dungu, malas, kurang kompetensi.
Saya langsung membantahnya demi kesantunan, " Itu hanya satu perspektif. Kini lebih baik karena setiap langkah ke depan harus lebih baik. Lagi pula saat itu Garuda Indonesia perlu mengubah pandangan yang salah bahwa kita masih seperti kemarin."
Saya mencoba menghibur mereka yang tersinggung itu. Tetapi sudah tak bisa. "Kompor" yang memanas-manasi pemimpin kemarin telah bergerak jauh lebih cepat. Mereka lebih senang melihat kalau kini tidak lebih baik. Ini sungguh bertentangan dengan keinginan rakyat.
Saat itu CEO Abdul Gani yang memimpin transformasi di Garuda baru saja menjalankan teknik "bakar kapal" bak panglima perang yang terkenal dalam sejarah Islam, Thariq bin Ziyad saat menaklukkan Spanyol.
Ketika sampai di Spanyol, Thariq membakar semua perahu yang digunakan prajuritnya agar mereka tak berpikir untuk kembali pulang sebelum menang. Dan Gani berhasil menyulutkan harapan perubahan.
Kampanye “Kini lebih baik" Garuda Indonesia pun segera dieksekusi biro iklan Matari. Dan pendapat publik pun terbelah, pro dan kontra mirip suasana menjelang pilpres hari ini.
Pemimpin Juga Mewariskan Kesulitan
Sebelum membaca siapa merespons apa dalam konteks negri ini hari ini, saya ajak anda mengikuti suasana yang saya rasakan saat mendampingi direksi Garuda Indonesia melakukan transformasi. Peristiwa itu terjadi antara tahun 1998-2000.
Konteksnya: Indonesia dan Garuda tengah dilanda krisis. Cash flow-nya negatif. Pelayanannya begitu buruk. Dikenal sebagai maskapai yang selalu delay.
Jokesnya, yang beredar GARUDA itu singkatan dari "Garuda Always Reliable Until Delay Announced" (Garuda selalu dapat diandalkan sampai pengumuman keterlambatan diumumkan). Belum lagi berita-berita miring, bertebaran dimana-mana. Maklum seleksi pegawai saat itu juga banyak katebelecenya.
Demikianlah tanpa penerapan good governance menteri dan pejabat bisa mewariskan banyak kesulitan bagi penerusnya. Pejabat bisa seenaknya menahan keberangkatan pesawat kalau mereka terlambat tiba di bandara. Lalu tak sedikit penguasa yang bisa mengirim kargo tanpa membayarnya.