Di sektor pelabuhan, saat ini sedang dilakukan penyelesaian pembangunan Pelabuhan Kuala Tanjung. Pembangunan keseluruhan infrastruktur ini diperkirakan akan menelan dana hingga Rp 34 triliun. Pada tahap pertama, kebutuhan dana mencapai Rp 4 triliun.
Jika tahap pertama rampung, pelabuhan ini akan mampu disandari kapal kontainer dengan kapasitas sekitar 4.000-5.000 twenty-foot equivalent unit (TEU's). Selain itu, pelabuhan ini juga akan bisa disandari oleh kapal muatan curah komoditas yang mendukung pergerakan logistik di Sumatera Utara.
Untuk bandara, di Sumatera Utara ada dua proyek pengembangan fasilitas aviasi, yakni pembangunan kawasan di sekitar Kualanamu dan pengembangan Bandara Silangit.
Pembangunan berbagai fasilitas ini hanya sebagian dari potret hajat pemerintah menggenjot infrastruktur. Dan, semua itu butuh duit.
Kebutuhan dana untuk membangun infrastruktur yang menjadi program pemerintah mencapai Rp 5.000 triliun dalam kurun 2015 hingga 2019.
Di sisi lain, pemerintah juga tengah berjuang mengambil alih 51 persen saham PT Freeport Indonesia. Sejauh ini belum ada kesepakatan harga antara pemerintah dengan Freeport McMoran.
Terkait dengan itu, kami mampir ke PT Inalum (Persero).
Sebelumnya, Inalum merupakan perusahaan yang sahamnya dikuasai oleh Nippon Asahan Aluminium (58,87 persen). Sisanya dimiliki Pemerintah Indonesia (41,13 persen).
Setelah perundingan yang cukup alot, 100 persen saham Inalum dikuasai Pemerintah Indonesia pada tahun 2013 melalui tebusan sebesar 558 juta dollar AS.
Namun yang perlu dicatat, saat itu kantong pemerintah masih memungkinkan untuk membayar pengambilalihan saham Inalum. Bisa dimaklumi, karena saat itu belum ada program pembangunan infrastruktur secara besar-besaran di Indonesia.
Cara-cara gila
Seperti Susi, yang berusaha membalik kondisi agar nelayan-nelayan kecil menjadi "raja". Langkah pemerintah melalui pengambilan mayoritas saham Freeport juga merupakan ikhtiar untuk memutar keadaan.
Berdasarkan klaim Freeport McMoran, nilai 51 persen saham Freeport Indonesia di kisaran Rp 107 triliun. Dan pastinya, untuk mengambil alih saham sebesar itu, kantong pemerintah tak memungkinkan. Hajat membangun infrastruktur besar-besaran akan terganggu jika kantong pemerintah masih harus dibebani untuk memborong saham Freeport.
Selama ini Freeport sudah cukup kenyang menikmati kekayaan SDA di tanah Papua, sedangkan bagian yang menjadi hak Indonesia cukup kecil. Ini tecermin dari kepemilikan saham Pemerintah RI yang hanya 9,36 persen.