Kalau pelaku usaha ditanya alasannya tidak tertarik untuk memanfaatkan tax holiday atau tax allowance, jawabannya relatif serupa dari tahun ke tahun. Lagi-lagi persoalan utama yang membuat pemodal enggan mengambil tawaran pemerintah itu adalah prosedur untuk mendapatkannya tidak mudah dan berbelit-belit.
Mayoritas pelaku usaha mengatakan, kriteria usaha dan persyaratan untuk mendapatkan tax allowance—apalagi tax holiday—terlalu sulit untuk bisa dipenuhi calon investor. Selain itu juga tidak ada sesuatu yang baru seperti yang diminta oleh industri hilir.
Dengan kata lain, fasilitas fiskal yang ditawarkan pemerintah tidak sesuai harapan dunia usaha. Bahkan, tidak jarang apa yang dijanjikan tidak sesuai dengan kenyataan.
Terlihat masih ada ego sektoral yang membuat antar-institusi saling tarik ulur kebijakan. Kenyataan ini selalu memunculkan pertanyaan, apakah pemerintah benar-benar serius ingin memberikan insentif fiskal?
Kalau ditanya lebih lanjut, sebenarnya faktor atau tantangan apa yang paling krusial bagi pelaku usaha? Jawabannya pasti tidak jauh dari birokrasi yang berbelit-belit, keterbatasan infrastruktur, jaminan pasokan energi, dan kepastian hukum.
Sebab, bagi mereka, semua persoalan itu merupakan penyebab mahalnya ongkos ekonomi atau biaya berusaha di Indonesia.
Pemerintah bukannya tidak sadar bahwa resep obat yang diberikan ke pemodal untuk mengatasi penyakit high cost economy tidaklah tepat. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menduga tak lakunya tax allowance dan tax holiday karena insentif yang dibutuhkan investor kemungkinan besar bukan itu.
Untuk itu, sudah seharusnya kebijakan insentif fiskal dievaluasi dan dikaji ulang. Evaluasi bukan hanya soal bobot insentif, melainkan juga syarat dan prosedur administrasi, serta dampaknya terhadap penerimaan Negara dan perekonomian.
Kompetisi pajak global
Mitsuhiro Furusawa, Deputy Managing Director IMF, ketika menyambangi Jakarta pada pertengahan 2017, mengingatkan Pemerintah Indonesia untuk mengantisipasi ekses yang timbul dari pemberian insentif pajak secara berlebihan.
Liberalisasi perdangangan yang ditandai dengan integrasi ekonomi dan investasi lintas batas dinilai menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan.
Tak hanya soal maraknya aksi perencanaan pajak agresif oleh perusahaan multinasional dan regional, dampak lain yang juga patut diwaspadai adalah terjadinya persaingan agresif antar-negara demi memperebutan investasi melalui pemberian berbagai insentif dan pembebasan pajak.
Terkait hal ini, OECD dalam beberapa tahun terakhir rutin melakukan kajian untuk mengukur efek buruk dari harmful tax competition dari setiap keputusan investasi di sektor finansial dan konsekuensinya terhadap perpajakan.
Dalam kesimpulannya, praktik-praktik perpajakan yang dianggap berbahaya (harmful tax practice) merupakan akibat dari adanya rezim perpajakan prefensial yang berbahaya (harmful preferential tax regime) dan surga pajak (tax haven).