Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Nuryanto
Executive Director MUC Tax Research Institute

Penikmat kopi dan penggila novel thriller. Sempat meniti karier di Direktorat Jenderal Pajak dan kini menjabat sebagai Tax Partner MUC Consulting sekaligus Executive Director MUC Tax Research Institute.

Dilema Pajak sebagai Sumber Pendanaan dan Stimulus Investasi

Kompas.com - 06/03/2018, 10:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Terdapat empat kebijakan fiskal di Indonesia yang turut menjadi bahan kajian OECD, yakni yang terkait dengan insentif pajak untuk perusahaan terbuka, tax allowance, tax holiday, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Kabar baiknya, empat kebijakan insentif tersebut tidak termasuk dalam daftar harmful tax practices.

Walaupun tidak masuk dalam lingkup harmful tax practices, obral insentif pajak yang diberikan Pemerintah Indonesia bisa dipandang oleh negara lain sebag kebijakan yang tidak fair dalam memperebutkan modal. Kebijakan-kebijakan itu dikhawatirkan akan dibalas oleh negara lain dengan menurunkan tarif pajak sehingga dapat memicu perang tarif.

Belakangan, kekhawatiran ini menjadi tren global, di mana banyak negara seperti berlomba-lomba menurunkan tarif pajak serendah-rendahnya (race to the bottom), seperti yang terakhir dilakukan oleh Amerika Serikat (AS). Hal itu merupakan gambaran dari penggerusan basis pajak akibat masifnya praktik pengalihan keuntungan ke negara-negara tax haven.

Isu base erosion and profits shifting (BEPS) kemudian menjadi momok bagi otoritas pajak di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Kendati Negara-negara G20 dan OECD sepakat untuk memerangi BEPS, antara lain dengan meredam perang tarif pajak, mau-tidak mau setiap negara terbawa arus kompetisi jika tidak ingin merugi sendirian.

Indonesia pun saat ini menghadapi dilema untuk menentukan pilihan kebijakan perpajakan yang paling realistis.

Kalau alasannya untuk menjaring modal, apakah pajak satu-satunya alasan pemodal untuk investasi? Kalau daya saing investasi yang jadi alasan, apakah obral tax allowance dan tax holiday yang tak laku belum cukup menjadi pelajaran?

Demikian pula jika tujuannya untuk menghindari wajib pajak melakukan profit shifting, mau seberapa rendah tarif pajak ditekan untuk meredam aksi itu? Jika semua itu diakomodir lewat pajak, sebenarnya tanpa sadar negara sedang diarahkan untuk menghapus pajak pada akhirnya.

Kalaupun tetap dipaksakan, yang terjadi neraca fiskal makin tak sehat karena didominasi oleh utang. Fenomena ini sebenarnya sudah terlihat dalam beberapa tahun terakhir, yaitu target penerimaan pajak tak tercapai dan sebaliknya nominal utang yang ditarik semakin bertambah.

Kembali ke beberapa permasalahan mendasar yang selalu dikeluhkan wajib pajak, terutama pelaku usaha—yaitu soal birokrasi yang rumit, keterbatasan infrastruktur, jaminan pasokan energi, dan kepastian hukum—, penyakit utamanya sudah jelas. Karena itu, obat yang diracik harus disesuaikan dengan kebutuhan.

Kalau lagi-lagi penerimaan pajak yang dikorbankan, dikhawatirkan negara akan kehabisan sumber daya untuk menjadikan anggaran sebagai stimulus perekonomian.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com