"Dari nonton-nonton video di Youtube, kemudian cari material (kayu) online, beberapa mesin gergaji, triplek, mulai belajar bikin tempat duduk, begitu nonton video sih gampang, tapi pas kita aplikasikan kok nggak kelar-kelar, udah gitu hasilnya kurang bagus, tapi proses itu kita jalanin kurang lebih setahun," ungkap Fin.
Banyaknya proses yang dijalankan hingga pembelajaran model bisnis perkayuan, mulai menyita waktu dan tidak tepat rasanya jika terus membagi dengan status karyawan.
Setelah mengundurkan diri dari pekerjaannya, Fin mulai menggarap bisnis tersebut secara fokus dan mempelajari segala hal mulai dari bahan baku, proses pembuatan, finishing, hingga pemasaran produk dan membangun jaringan dijalani.
"Saya sadar, oke kita harus berkorban, kita harus lepas (status karyawan) kita harus berani ambil risiko untuk keluar dari kantor dan mulai percaya diri sudah bisa buat bangku, kursi, meja makan," ujar Fin.
Dari sisi permodalan, Fin mengakui bahwa usaha yang dirintisnya berjalan dari modal awal dengan menyisihkan uang gajian setiap bulannya hingga terkumpul Rp 100 juta.
"Mulai menyisihkan uang pribadi kita dari kantor di 2014 yang terkumpul kurang lebih sekitar Rp 100 juta, itu hanya cukup untuk beli mesin-mesin fisik standar, awalnya kita memang beli alat-alat tradisional," ungkapnya.
Singkat cerita, Fin akhirnya masuk kedalam program inkubasi bisnis dari Rumah Perubahan bentukan Rhenald Kasali guna meningkatkan kualitas dan kapasitas dan membangun jaringan sebagai perusahaan rintisan atau yang dikenal dengan start up.
Dengan segala keterbatasan, mulai dari ruang produksi yang merupakan garasi mobil berukuran 3x4 meter dan bermodalkan peralatan tradisional di tahun 2014, akhirnya Fin mendapatkan pendanaan dari program inkubasi bisnis Rumah Perubahan. Sebab, usahanya memiliki peluang pasar yang menjanjikan.
"Kami terima investasi dari Rumah Perubahan perubahan itu sekitar Rp 1 miliar untuk operasional dan membuat alat permainan edukatif, dari situ kita coba putar juga pelan-pelan tentunya mulai dari kita bikin project-project personal seperti furnitur," jelasnya.
Mendapatkan Peluang
Hingga akhirnya, Fin dipertemukan dengan salah satu pemilik sekolah swasta di bilangan Cibubur yang membutuhkan balok-balok kayu untuk metode pembelajaran para siswa. Barang tersebut saat ini masih sulit ditemukan di Indonesia.
Selama ini, balok-balok kayu yang digunakan sebagai metode pembelajaran harus dimpor dari Amerika Serikat. Sering kali yang terjadi, begitu tiba di Indonesia mengalami perubahan bentuk dan ukuran karena perbedaan iklim dan cuaca.
Benar saja, peluang itu Fin dapatkan, saat ini usaha rintisannya tengah bersiap mengeluarkan produk-produk tersebut secara massal dengan kayu asal Indonesia dan diproduksi menggunakan alat yang presisi.
"April ini kami sudah siap produksi besar udah siap produknya. Kami kerja sama dengan sekitar 10.000 sampai 15.000 sekolah dan rencananya setelah berhasil merilis produk ini ke pasar, kami juga berencana menjadikan ini sebagai proyek sosial juga," ungkapnya.
Kini usaha rintisannya memiliki dua lini produksi, pertama produksi furniture, kedua lini produksi balok-balok untuk metode belajar.