Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Arif Nurdiansah
Peneliti tata kelola pemerintahan

Peneliti tata kelola pemerintahan pada lembaga Kemitraan/Partnership (www.kemitraan.or.id).

Kembali ke Desa, Yakin Bisa?

Kompas.com - 08/05/2018, 07:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Relasi dan target desa

Idealnya, upaya dalam berbenah dan menciptakan magnet untuk menarik orang kembali ke desa mendapatkan dukungan penuh dari supradesa (kabupaten/kota, provinsi, dan pusat), namun pada realitanya justru cenderung menghambat.

Misalnya, UU Desa memberikan kewenangan kepada desa dan pemerintah menariknya dengan cara memberikan aturan ketat dan mengikat.

Lembaga Kemitraan mencatat lebih dari 50 peraturan, mulai dari UU, peraturan pemerintah, peraturan menteri, yang kesemuanya mengikat dan sebagian besar bersifat instruksi, bukan partisipasi.

Peraturan itu mengatur secara ketat apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh desa.

Jumlah ini belum termasuk peraturan daerah baik di provinsi dan maupun kabupaten yang jumlahnya juga cukup banyak.

Ironisnya, dari banyaknya aturan yang mengatur kewenangan desa tersebut, sedikit sekali daerah yang telah mengeluarkan peraturan daerah pembagian kewenangan antara kabupaten dan desa.

Kondisi ini ditambah dengan adanya instrumen pengawasan yang sangat ketat kepada desa, yakni pengawasan dari pusat, mulai dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Komisi Pemberantasan Korupsi, kepolisian, dan kejaksaan.

Alih-alih menciptakan magnet dan menarik orang-orang untuk kembali ke desa, pemerintah desa dihantui dengan ketakutan dan was-was karena takut ditersangkakan dari implementasi kebijakan yang dijalankan.

Ketakutan aparat desa jelas terlihat di beberapa daerah. Pada akhir 2017 ketika Kemitraan melakukan penelitian desa di Kabupaten Lombok Tengah, misalnya, kepala desa mengeluh karena baru didatangi oknum mengatasnamakan KPK lengkap dengan segala atributnya mulai dari tanda pengenal, dompet, dan lain-lain yang meyakinkan bahwa mereka adalah bagian dari lembaga antirasuah tersebut.

Kepala desa tersebut tidak mengetahui bahwa atribut KPK tersebut dijual bebas secara online dan dengan mudah didapatkan oleh siapa saja.

Dengan banyaknya aturan dan dominasi supradesa yang masih kuat, desa diberi target-target lain yang cenderung memberatkan, misalnya dana desa diharapkan mampu menciptakan kesejahteraan.

Namun faktanya, desa tidak diberi kewenangan untuk menentukan program pembangunan kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya, tetapi dibatasi dengan memprioritaskan penggunaan dana desa untuk pembangunan infrastruktur.

Kendati mampu secara signifikan mempermudah akses masyarakat pada pelayanan dasar, seperti pendidikan anak usia dini (PAUD), posyandu dan pemerintahan desa, namun berdasarkan hasil penelitian Kemitraan di Kabupaten Kebumen, Pulang Pisau, Donggala, dan Lombok Tengah, pembangunan infrastruktur belum berhasil menciptakan kesejahteraan masyarakatnya.

Jika mengacu pada teori sustainable livelihood framework, pembangunan infrastruktur yang merupakan modal fisik, hanya salah satu prasyarat untuk menciptakan kesejahteraan.

Syarat lainnya antara lain penguatan terhadap modal sosial, sumber daya manusia, sumber daya alam, dan akses terhadap finansial.

Syarat-syarat tersebut hanya mampu diwujudkan jika fungsi desa berperan optimal, baik dalam pembangunan infrastruktur maupun melakukan pemberdayaan serta pembinaan kepada masyarakat.

Di sisi lain, optimal atau tidaknya fungsi desa bergantung pada sejauh mana supradesa mengatur secara jelas pembagian kewenangan yang ada sesuai amanat dalam UU Desa.

Selama desa disibukkan dengan target serta relasi dengan supradesa yang tidak sederhana, maka sulit bagi desa untuk berbenah dan menjadi magnet bagi masyarakat yang saat ini masih memandang kota dengan segala tantangannya lebih realistis untuk dipilih.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com