Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Utang Indonesia Melonjak, Perlukah Kita Khawatir?

Kompas.com - 02/07/2018, 14:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pertama, kita perlu menganalisis strategi Indonesia dalam pencarian sumber utang. Dalam beberapa tahun terakhir pinjaman Indonesia lebih bergantung pada dana lokal daripada dana asing.

Ini upaya pemerintah dalam mengurangi risiko nilai tukar dan goncangan ekonomi global yang terkait dengan pinjaman luar negeri. Strategi tersebut tercermin pada meningkatnya penggunaan surat utang berdenominasi rupiah yang diterbitkan dalam lingkup domestik.

Statistik dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa proporsi pinjaman luar negeri dalam portfolio utang Indonesia menurun dari 78 persen ke 30 persen pada 2008 ke 2017. Di sisi lain, proporsi surat utang berdenominasi rupiah meningkat dari 21,7 persen menjadi 70 persen pada periode yang sama.

Isu lainnya yang penting untuk kita amati adalah penggunaan utang oleh pemerintah.

Pengurangan proporsi pinjaman luar negeri memberikan fleksibilitas dan ruang lebih dalam penggunaan pinjaman. Utang yang diperoleh dari kreditor asing sering kali disertai dengan kondisi dan batas-batas bagaimana debitur dapat menggunakan pinjaman tersebut.

Pemerintah telah mengalokasikan sebagian besar utangnya ke bidang infrastruktur yang menjadi prioritas utama dalam pemerintahan Jokowi. Dana utang dialokasi untuk proyek-proyek skala besar seperti bandara, pelabuhan laut, sistem transportasi massal, jalan tol, serta pembangkit listrik tenaga air dan panas bumi.

Dalam rencana kerja dan anggaran Jokowi, pengeluaran untuk infrastruktur meningkat secara konsisten di kisaran 10 miliar dollar AS per tahun, hampir empat kali lipat dari pemerintahan sebelumnya.

Selain infrastruktur, pemerintahan Jokowi juga memprioritaskan pengeluaran di dua sektor ekonomi utama lainnya, yaitu pendidikan dan kesehatan.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar, pemerintah Jokowi telah mengalokasikan 20 persen dari anggaran tahunan untuk pendidikan, termasuk menyiapkan Sovereign Wealth Fund untuk mengelola dana beasiswa bagi pendidikan pascasarjana.

Di sektor kesehatan, pemerintah telah meningkatkan anggaran untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hingga September 2017 sekitar 70 persen penduduk Indonesia telah menikmati manfaat dari program jaminan kesehatan pemerintah.

Target pemerintah adalah menjamin kesehatan seluruh penduduk Indonesia melalui program ini pada 2019.

Baca juga: 8 Hal Terdampak Pelemahan Rupiah yang Tembus Rp 14.000 per Dollar AS

Di sisi lain, pemerintahan Jokowi telah mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) sejak 2015. Beberapa pihak menganggap kebijakan ini tidak populer untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di jangka pendek.

Biaya bahan bakar yang meningkat memacu peningkatan biaya produksi dan penurunan kegiatan ekonomi. Namun, keputusan ini akan berdampak positif dan substansial dalam pengurangan beban utang Indonesia di masa mendatang.

Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan kenaikan anggaran di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur masing-masing sebesar 11 persen, 54 persen, dan 118 persen dari tahun 2014 ke 2017. Di sisi lain, anggaran untuk subsidi BBM mengalami penurunan sebesar 77 persen.

Strategi anggaran pemerintah dapat dikatakan sebagai keputusan yang baik untuk peningkatan produktivitas dan standar hidup.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com