Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rupiah Terus Melemah, Simak Penjelasan Dua Ekonom Ini

Kompas.com - 05/07/2018, 10:22 WIB
Bambang P. Jatmiko

Editor

The Fed sejak akhir 2015 sudah mengurangi stimulus dan menaikkan suku bunganya. Tadinya dipertahankan mendekati 0 persen. Tahun ini diperkirakan The Fed akan menaikkan dua atau tiga kali lagi sehingga menjadi empat kali sejalan dengan penurunan tingkat pengangguran dan kenaikan upah pekerja AS.

Selain meningkatkan suku bunga, the Fed mengurangi stimulus lainnya yakni mengurangi quantitative. Kita tahu setelah krisis 2008, the Fed melonggarkan likuiditas dengan membeli surat utang negara dan korporasi di AS. Langkah ini disebut quantitative easing dengan tujuan agar likuiditas di AS meningkat.

Ini alasan mengapa ekonomi global saat ini membaik, dimotori oleh Amerika, China, Eropa. Akibatnya harga komoditas seperti energi meningkat. Sehingga kondisi ini harus disikapi pemerintah dan investor.

Bagaimana prospek ekonomi AS benarkah akan terus membaik?

Proyeknya bisa kita lihat dari leading indicator. Ini yang jarang dibahas di banyak pertemuan. Yaitu yield spread obligasi AS yang short term dan long term ternyata menipis. Ini menandakan siklus bisnis di Amerika tidak akan terus naik tinggi.

Polanya, tren yield spread yang positif mengawali penguatan ekonomi, demikian pula sebaliknya, jika trendnya negatif, maka ekonomi AS akan melambat. Dengan yield spread di AS yang menipis, diduga ekonomi AS tidak terlalu ekspansif sehingga The Fed diduga tidak akan terlalu tinggi dari proyeksi pertumbuhan ekonomi AS. Jelas tidak mungkin suku bunga the Fed akan melebihi pertumbuhan ekonomi AS karena itu akan membunuh pertumbuhan ekonomi AS.

Ini pula yang melandasi kondisi dollar AS ke depan yang diduga tidak terlalu kuat. Investor tentu akan memindahkan asetnya ke negara-negara yang memberikan peluang pertumbuhan yang lebih baik.

Tapi mengapa investor asing masih keluar dari pasar keuangan RI?

Sejak Mei 2017 asing menunjukkan outflow (aliran uang keluar dari pasar keuangan Indonesia). Tahun ini setelah sempat naik, namun kemudian terus turun. Ini sangat terkait dengan keraguan investor asing terkait dengan polemik penurunan daya beli yang terjadi sejak tahun lalu.

Tetapi di obligasi justru terjadi inflow (uang masuk) dari investor asing hingga mencapai angka tertinggi Rp 880 triliun. Ini terjadi setelah kenaikan peringkat (rating upgrade) terhadap surat utang negara. Namun mulai berubah sejak Januari setelah terjadi perubahan yield obligasi di AS. Kemudian di April terjadi penurunan lagi akibat penurunan nilai tukar rupiah.

Investor menduga mendekati pemilu, kebijakan pemerintah akan cenderung populis dalam bentuk menahan subsidi energi padahal harga minyak dunia sedang naik. Di masa lalu, kebijakan populis ini cenderung membuat rupiah melemah.

Jadi secara umum investor saham meragukan kecepatan pemulihan ekonomi, dan kembali melemah karena ada risiko nilai tukar rupiah. Pelemahan nilai tukar rupiah ini karena ada rotasi aset para investor yang diduga dipindah ke negara lain.

Bagaimana sebaiknya kebijakan pemerintah mengatasi harga minyak?

Ujian bagi pemerintah sekarang ialah harus tanggap mengantisipasi harga minyak karena ini berkorelasi dengan defisit neraca minyak.

Pemerintah harus mempercepat reformasi di sektor energi dan transportasi. Kita harus mendorong teknologi dan sistem transportasi yang tidak tergantung pada minyak yang mempengaruhi pergerakan rupiah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com