Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rupiah Terus Melemah, Simak Penjelasan Dua Ekonom Ini

Kompas.com - 05/07/2018, 10:22 WIB
Bambang P. Jatmiko

Editor

Forecast consensus Bloomberg di akhir 2018, rupiah kembali menguat karena pelemahan rupiah sekarang terkait dengan musim emiten menyiapkan cash dividend untuk investor asing. Seperti Telkom harus membayar dividen kepada Singtel selaku pemegang saham terbesar Telkomsel.

Penjelasan lengkap, termasuk pengaturan lalu lintas devisa, baca di blog HaloMoney.co.id.

 

Arif Budimanta, Wakil Ketua Komisi Ekonomi dan Industri Indonesia (KEIN)

Rupiah terus melemah, apakah fundamental ekonomi kita sedang dalam trend negatif?

Dari sisi neraca, posisi defisit neraca keuangan kita relatif lebih baik dalam tiga tahun terakhir. Dari sisi fundamental juga bukan suatu masalah. Maksud saya track ekonomi kita mengarah lebih baik. Memang tantangan kita dalam membuat current account surplus adalah dalam primary income, jasa, dan neraca perdagangan.

Momentum menguatnya dollar AS ini sebenarnya sangat baik sekali untuk meningkatkan daya saing ekspor kita. Dengan tren kenaikan suku bunga Amerika Serikat secara bertahap, karena ekonominya membaik, dalam konteks ini kita harus melihat sebagai sebuah peluang. Sebab Amerika adalah salah satu mitra dagang penting Indonesia sehingga diplomasi perdagangan kita ke Amerika harus kita perkuat.

Misalnya sawit. Kita harus bisa ekspor sawit ke AS dan mengatakan minyak sawit kita adalah renewable resources. Ini paling penting sehingga kuota kita lebih bagus dan hambatan produk kita ke AS lebih mudah dan longgar.

Mengapa sektor jasa sejak dulu sampai sekarang selalu defisit?

Sektor yang selalu menjadi faktor pengurang dalam current account memang adalah jasa. Ini adalah PR lama kita sejak dulu. Sekarang pemerintah sedang bangun infrastruktur, pelabuhan, itu sebenarnya untuk menekan agar neraca jasa kita bisa lebih baik.

Misalnya di sektor jasa ini adalah pelayaran dari luar negeri sehingga butuh dolar. Ini terjadi dari dulu sampai sekarang sehingga kebutuhan dollar di dalam negeri cukup tinggi untuk membayar jasa perusahaan asing yang jasanya digunakan untuk perdagangan internasional. Ini yang harus dikurangi.

Menurut pandangan kami, kita harus memanfaatkan kebijakan yang ada di dunia seperti One Belt One Road (OBOR) disatukan dengan poros maritim Indonesia. Ini bisa mengurangi pembayaran dollar di sektor jasa.

Dari dulu jasa dalam negeri belum siap juga ya untuk menopang perdagangan internasional?

Tidak selalu karena bukan masalah siap atau tidak siap perusahaan dalam negeri, tapi pelaku usaha selalu melihat dari sisi ekonomisnya. Misalnya dari sisi pelayaran, belum tentu perusahaan dalam negeri lebih murah dari perusahaan pelayaran global yang melayani perdagangan antar negara. Di sinilah diplomasi perdagangan kita harus bergerak untuk menekan defisit di sektor jasa dalam current account.

Misalnya kita memperkuat pelabuhan yang paling dekat dengan jalur OBOR atau jalur perdagangan dengan 64 negara yang dimotori China. Apakah Priok atau di Kalimantan dan Sulawesi? Sehingga pemerintah akan memprioritaskan industri yang ada di sekitar pelabuhan tersebut.

Neraca perdagangan kita dengan China masih negatif sehingga OBOR harus dimanfaatkan untuk mempersempit defisit neraca perdangan. Bahkan seharusnya bisa seimbang, tidak defisit lagi.

Dan China kita tahu juga membawa uang mereka. Tidak harus membangun di Jawa dalam konteks OBOR ini, mengapa tidak di luar Jawa yang dekat dengan jalur OBOR.

Penjelasan lebih lengkap, baca blog HaloMoney.co.id.

 

Konten ini merupakan kerja sama antara Kompas.com dengan HaloMoney.co.id, dan Kompas.com tidak bertanggung jawab atas isi dalam artikel ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com