Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action

Direktur Eksekutif Economic Action (ECONACT) Indonesia. Analis Ekonomi BNI Securities Jakarta Barat, dan Staf Ahli Komite Ekonomi dan Industri Nasional Republik Indonesia

Mendaur Ulang Residu Jokowinomic

Kompas.com - 27/11/2018, 06:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tak dapat dipungkiri memang,  ada lonjakan belanja infrastruktur.  Pertumbuhan sektor konstruksi rerata di atas pertumbuhan ekonomi.  Namun lonjakan kontribusinya tercatat kurang berarti.  Bahkan dari kuartal III 2018 terhadap kuartal III 2017, kenaikan kontribusi sektor konstruksi terhadap PDB nasional hanya sekitar 0,12 persen, meskipun pertumbuhannya tercatat 5,95 persen.

Sayangnya,  meskipun terdapat kenaikan tipis kontribusi sektor konstruksi,  ternyata kontribusi sektor industri dan  pertanian terhadap PDB malah terus menurun. Ada korelasi yang hilang dari data-data tersebut.  Kenaikan belanja infrastruktur yang berakibat meningkatnya konstribusi sektor konstruksi terhadap PDB nasional,  ternyata tidak memperkuat struktur dan kapasitas produksi nasional, tapi malah mendisrupsinya.

Baca juga: Benarkah Ekonomi Indonesia Tahan Hadapi Krisis? Ini Datanya

Dari kondisi tersebut,  terlihat beberapa persoalan fundamental yang harus segera dimitigasi oleh pemerintah.

Pertama, persoalan struktur pertumbuhan ekonomi. Triwulan dua, ekonomi tumbuh 5,27 persen (yoy). Sementara triwulan tiga,  angkanya menyusut menjadi 5,17  persen.

Konsumsi rumah tangga dan Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) cukup dominan, ditambah dengan konsumsi LNPRT. Namun persoalannya, konsumsi rumah tangga terutama di perkotaan semakin terkontaminasi oleh barang-barang impor.

Dominasi produk asing yang dijual lewat e-commerce sangat terasa,  misalnya. Walaupun pembayaran bisa lewat rupiah, penyelesaian ke produsen menggunakan valas. Kondisi semacam ini akan menambah ketergantungan ekonomi nasional pada barang impor, bukan hanya pada bahan baku/penolong, barang modal, melainkan juga pada barang konsumsi.

Dengan kata lain,  kapasitas produksi nasional terseret turun. Lihat saja,  pada Januari-Agustus 2018 misalnya, impor barang konsumsi tumbuh hingga 27 persen (yoy); tertinggi kedua setelah pertumbuhan barang modal yang sebesar 29 persen (yoy). Bahkan di tahun 2017, angkanya sempat sampai ke level 30 persen. Kondisi yang sama juga terlihat dari data ekspor kita yang makin kurang menggembirakan.

Kedua, persoalan pengelolaan harga. Inflasi tahunan cukup rendah, di September sebesar 2,88 persen. Inflasi barang bergejolak bergerak 3,75 persen. Sayangnya, pengelolaan inflasi volatile food tidak menggunakan sumber daya lokal. Misalnya impor beras dan jagung yang dilakukan secara masif di tengah-tengah panen petani. Selain menyakitkan bagi petani, kebijakan impor tentu membutuhkan valas. Impor yang tidak direncanakan sebelumnya tersebut akan diikuti dengan pemburuan dolar di pasar.

Ketiga, dari sektor perbankan, rasio kecukupan modal alias capital adequacy ratio (CAR) di atas 20 persen dari level minimal 8 persen; serta rasio kredit bermasalah atau non performing loans (NPL) yang hanya 2,76 persen; masih jauh dari alarm 5 persen. Akan tetapi, gejolak yang terjadi seperti sekarang akan mengekor ke bank-bank pemilik likuiditas rendah.

Jika hipotesis tersebut benar, pemerintah sangat perlu mengawal likuiditas bank, terutama di kelompok Buku 1 dan 2. Lebih dari itu, saat nilai tukar tertekan kelompok Buku 3 dan 4 sebenarnya juga sensitif, karena sebagian besar merupakan bank devisa, yang memiliki keterkaitan langsung dengan nilai tukar.

Keempat, cadangan devisa mencapai 117,9 miliar dollar AS pada Agustus lalu yang setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor -atau 6,6 bulan impor jika ditambah dengan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Angka tersebut masih jauh dari batas standar internasional sebesar 3 bulan impor. Namun masalahnya, porsi hot money pada cadangan devisa cukup tinggi, yang berasal dari investasi portofolio.

Dana tersebut akan dengan mudah kabur jika ada sedikit saja guncangan atau shock. Oleh karena itu, rekayasa kebijakan investasi khusus untuk FDI harus dilakukan, selain berjuang habis-habisan untuk menggenjot ekspor nasional. Sayangnya,  belakangan pertumbuhan FDI agak lesu.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Capai 12,5 Persen, Pertumbuhan Ekonomi Dua Wilayah Ini Tertinggi di Indonesia

Capai 12,5 Persen, Pertumbuhan Ekonomi Dua Wilayah Ini Tertinggi di Indonesia

Whats New
Per Februari 2024, Jumlah Pengangguran RI Turun Jadi 7,20 Juta Orang

Per Februari 2024, Jumlah Pengangguran RI Turun Jadi 7,20 Juta Orang

Whats New
Pembangunan Infrastruktur di Australia Jadi Peluang untuk Produsen Baja Lapis RI

Pembangunan Infrastruktur di Australia Jadi Peluang untuk Produsen Baja Lapis RI

Whats New
KAI Ubah Pola Operasi, 21 Kereta Berhenti di Stasiun Jatinegara

KAI Ubah Pola Operasi, 21 Kereta Berhenti di Stasiun Jatinegara

Whats New
Kejar Target 1 Juta Barrel Minyak, Industri Hulu Migas Hadapi Keterbatasan Rig

Kejar Target 1 Juta Barrel Minyak, Industri Hulu Migas Hadapi Keterbatasan Rig

Whats New
PGN Suplai Gas Bumi untuk Smelter Tembaga Freeport

PGN Suplai Gas Bumi untuk Smelter Tembaga Freeport

Whats New
KKP Kembangkan Jejaring Perbenihan Nasional Ikan Nila

KKP Kembangkan Jejaring Perbenihan Nasional Ikan Nila

Whats New
Kemenhub Evaluasi Pola Pengasuhan di STIP Jakarta

Kemenhub Evaluasi Pola Pengasuhan di STIP Jakarta

Whats New
Konsumsi Rumah Tangga Kembali Jadi Penopang Pertumbuhan Ekonomi Indonesia pada Kuartal I-2024

Konsumsi Rumah Tangga Kembali Jadi Penopang Pertumbuhan Ekonomi Indonesia pada Kuartal I-2024

Whats New
Frekuensi Perjalanan LRT Jabodebek Ditambah, Waktu Tunggu Lebih Cepat

Frekuensi Perjalanan LRT Jabodebek Ditambah, Waktu Tunggu Lebih Cepat

Whats New
Kepala Bappenas Sebut Pembangunan IKN Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas Sebut Pembangunan IKN Capai 80,82 Persen

Whats New
Simak Kurs Rupiah Hari Ini di BCA hingga BNI

Simak Kurs Rupiah Hari Ini di BCA hingga BNI

Spend Smart
Pabrik Sepatu Bata di Purwakarta Tutup, Bagaimana Prospek Sahamnya?

Pabrik Sepatu Bata di Purwakarta Tutup, Bagaimana Prospek Sahamnya?

Earn Smart
Ada Regulasi Ketransmigrasian Baru, Kemendes Sebut Sebagai Modal Pengembangan Transmigrasi Modern

Ada Regulasi Ketransmigrasian Baru, Kemendes Sebut Sebagai Modal Pengembangan Transmigrasi Modern

Whats New
Bagaimana Rekomendasi IHSG Pekan Ini? Simak Aneka Sentimen yang Memengaruhinya

Bagaimana Rekomendasi IHSG Pekan Ini? Simak Aneka Sentimen yang Memengaruhinya

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com