Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Pembangunan LRT Jabodebek Dikritik Wapres Kalla...

Kompas.com - 15/01/2019, 07:31 WIB
Akhdi Martin Pratama,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pembangunan Light Rail Transit (LRT) Jabodebek fase I menuai kritik. Tak tanggung-tanggung, kritik itu dilontarkan oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.

Orang nomor dua di pemerintahan Indonesia itu menilai pembangunan proyek itu tak efisien. Sebab, proyek nilai proyek itu dianggap terlalu mahal dan konsepnya elevated atau jalur layang.

Nilai proyek yang membentang dari Bekasi Timur hingga Dukuh Atas itu mencapai Rp 29,9 triliun. Nilai tersebut terdiri atas sarana, pra sarana, dan interest during construction (IDC).

Untuk per kilometernya, proyek tersebut dihargai sekitar Rp 500 miliar.

“Kalau LRT-nya di tengah kota, itu perlu elevated. Tapi kalau di luar kota, tidak perlu elevated karena lebih murah membebaskan lahan daripada membangunnya (jalur layang)," ujar Kalla saat ditemui di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Senin (14/1/2019).

Baca juga: Wapres Kalla: LRT di Luar Kota Tak Perlu Elevated

Kalla pun mempertanyakan siapa konsultan pembangunan proyek ini. Menurut dia, konsep pembangunan LRT Jabodebek dengan biaya selangit ini tak tepat.

“Membangun LRT ke arah Bogor dengan elevated. Ya buat apa elevated kalau hanya berada di samping jalan tol? Dan biasanya light train itu tidak dibangun bersebelahan dengan jalan tol, harus terpisah," ujar Kalla.

"Tapi bangunnya gitu. Itu kemungkinan, siapa konsultan yang memimpin ini sehingga biayanya Rp 500 miliar per kilometer? Kapan kembalinya kalau dihitungnya seperti itu?" lanjut Kalla.

Jawaban Adhi Karya

Mendapat kritikan dari orang nomor dua di Indonesia, pelaksana proyek LRT Jabodebek PT Adhi Karya (persero) Tbk pun buka suara.

Direktur Operasional II Adhi Karya, Pundjung Setya Brata mengatakan, harga LRT Jabodebek masih terbilang kompetitif ketimbang di negara lain.

"Kalau bicara per kilometer Rp 500 miliar dibandingkan dengan MRT dan sebagainya, apalagi dibandingkan Singapura harga kita cukup kompetitif," ujar Pundjung di Jakarta, Senin (14/1/2019).

Bila dibandingkan dengan proyek LRT Jakarta yang digarap PT Jakpro, biaya konstruksi per kilometernya memang terbilang lebih murah.

LRT Jakarta yang hanya sepanjang 5,8 kilometer itu membutuhkan biaya Rp 1,08 triliun per kilometernya.

Sementara, bila dibandingkan dengan proyek LRT Palembang, biayanya memang terpaut lebih mahal.

Suasana pembangunan proyek transportasi masal Light Rail Transit (LRT) di sepanjang Tol Jagorawi, Kampung Makasar, Jakarta Timur, Minggu (23/7/2017). Direktur Utama PT Adhi Karya Tbk, Budhi Harto mengungkapkan, nilai pembangunan prasarana LRT Jabodebek di kontrak awal sebesar Rp23,39 triliun sudah termasuk PPN 10 persen. Namun, setelah dihitung lagi, ongkos konstruksi LRT dapat ditekan lebih murah menjadi Rp 19,7 triliun dan belum termasuk PPN 10 persen dan sesuai arahan Presiden Jokowi, pemerintah akan tetap mengejar target penyelesaian proyek LRT Jabodebek pada awal 2019. ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya/foc/17.ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya Suasana pembangunan proyek transportasi masal Light Rail Transit (LRT) di sepanjang Tol Jagorawi, Kampung Makasar, Jakarta Timur, Minggu (23/7/2017). Direktur Utama PT Adhi Karya Tbk, Budhi Harto mengungkapkan, nilai pembangunan prasarana LRT Jabodebek di kontrak awal sebesar Rp23,39 triliun sudah termasuk PPN 10 persen. Namun, setelah dihitung lagi, ongkos konstruksi LRT dapat ditekan lebih murah menjadi Rp 19,7 triliun dan belum termasuk PPN 10 persen dan sesuai arahan Presiden Jokowi, pemerintah akan tetap mengejar target penyelesaian proyek LRT Jabodebek pada awal 2019. ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya/foc/17.

Proyek LRT Palembang yang dikerjakan Kementerian Perhubungan sepanjang 23,4 kilometer dengan investasi Rp 11,3 triliun, membutuhkan Rp 484 miliar untuk konstruksi sarana dan prasarana per kilometernya.

Pembangunan proyek ini pun diklaim lebih murah ketimbang di negara lain. LRT Manila di Filipina, misalnya membutuhkan Rp 904 miliar per kilometer, lalu LRT Kelana Jaya di Malaysia memerlukan Rp 807 miliar per kilometer.

Sementara itu, pembangunan LRT Lahore di Pakistan memerlukan Rp 797 miliar per kilometer dan LRT Dubai di Uni Emirat Arab memerlukan Rp 1,026 triliun per kilometer.

Adapun LRT Calgary di Kanada memerlukan anggaran  Rp 2,197 triliun per kilometer dan LRT Houston di Amerika Serikat sebesar Rp 688 miliar per kilometer.

Menurut Pundjung, untuk menilai mahal atau tidaknya sebuah proyek harus dilihat secara keseluruhan. Membandingkannya dengan proyek lain juga harus apple to apple.

“Dalam menerima informasi cost (biaya) harus paham dulu skop pekerjaannya apa, teknologi yang dipakai apa. Jadi cost tadi sudah mengandung cost untuk depo, biayanya nggak murah itu. Cost itu termasuk depo dan stasiun," kata Pundjung.

Mengenai pembuatannya yang 100 persen elevated, pihak Adhi Karya pun angkat bicara.

Direktur Adhi Karya Budi Harto mengatakan, kalau dibangun tepat di atas tanah, maka akan memunculkan banyak perlintasan sebidang. Pada gilirannya, tujuan akhir dari pembangunan LRT yakni untuk memperlancar arus lalu lintas tidak tercapai.

"Karena banyak persimpangan, sehingga lalu lintas kereta dan jalan raya tidak akan lancar, terganggu," kata Budi menjawab Kompas.com.

Dengan menghilangkan perlintasan sebidang, maka kapasitas jalan akan semakin tinggi karena tidak ada gangguan kereta yang lewat.

Selain itu, potensi kecelakaan antara kereta dengan kendaraan dapat diminimalisasi.

Baca juga: Pengoperasian LRT Jabodebek Molor dari Target

Alasan lainnya yakni memastikan kapasitas lintas maupun frekuensi perjalanan kereta dapat maksimum tanpa mengganggu jalur lalu lintas lain.

Selain itu, banyak flyover dan jembatan penyeberangan orang serta konstruksi lainnya yang dibangun di sepanjang jalur LRT.

"Lalu, menjaga kelandaian minimimum jalur (maksimum 2 persen), bila trase vertikalnya turun naik akan mengurangi kenyamanan penumpang dan juga sarananya membutuhkan daya yang besar sehingga boros listrik/ biaya operasional dan biaya perawatan," tutur Budi.

Konstruksi layang juga meminimalisasi pembebasan lahan yang harus dilakukan. Sebab, bila menggunakan konstruksi di atas tanah (at grade) dibutuhkan ruang bebas yang lebih lebar.

Di samping itu, dengan konstruksi layang, ruang di bawahnya masih bisa difungsikan saat konstruksi selesai, sehingga penggunaan lahan menjadi lebih efisien.

"Terakhir, meminimalkan masalah sosial atau gangguan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab seperti halnya yang sering terjadi pada jalur at grade," tuntas Budi.

Molor dari target

Jadwal pengoperasian Light Rail Transit (LRT) Jabodebek molor dari target. Pada awalnya, LRT Jabodebek direncanakan bisa beroperasi pada 2019.

"Komersialnya akhir 2020 atau pertengahan 2021, karena kita ada testing dan komisioning untuk memastikan kereta ini aman. Jadi kalau (konstruksi) sudah selesai, kita uji coba 3 bulan," ujar Pundjung.

Pundjung menambahkan, untuk kontruksinya ditargetkan bisa rampung pada akhir 2019. Namun, untuk pembangunan depo di Bekasi Timur masih mengalami kendala pembebasan lahan.

"(Untuk depo) proses yang baru dibayarkan 33 bidang. Total keseluruhan ada 300 bidang yang harus diselsaikan," kata Pundjung.

Baca juga: Melongok Pembangunan Stasiun LRT Taman Mini...

Adapun progres pembangunan proyek Light Rail Transit (LRT) Jabodebek fase I hingga Januari 2019 telah mencapai 56,1 persen.

Adhi Karya sendiri ditugaskan mengerjakan LRT Jabodebek melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2016 tentang Percepatan Penyelenggaraan Kereta Api Ringan (LRT). 

LRT Jabodebek mencakup dua tahap pengembangan. Tahap I proyek meliputi jalur lintas pelayanan Cibubur-Cawang, Bekasi Timur-Cawang, dan Cawang-Dukuh Atas.

Sementara tahap II akan meliputi Cibubur-Bogor, Dukuh Atas-Palmerah-Senayan, dan Palmerah-Grogol.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com