Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekonomi 2019, Mobil F1 dan Catatan Akhir Seorang Ekonom

Kompas.com - 17/01/2019, 16:26 WIB
Yoga Sukmana,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

Di sinilah keunggulan Tony di keluarkan. Ia selalu menggunakan perumpamaan. Tujuannya tak lain untuk menyederhanakan hal-hal rumit di ekonomi.

"Ibarat mobil F1 yang terus dipacu, suatu saat dia harus keluar jalur (pit stop) untuk istirahat dulu. Mungkin bannya harus di ganti atau sebagainya. Jadi AS itu seperti mobil F1 yang harus keluar jalur juga," kata dia.


Catatan akhir


Pada 2018, Tony menilai AS cukup berbahagia karena ekonominya mulai pulih dan bisa tumbuh 2,7 persen. Namun ekonomi itu ucapnya diongkosi oleh penderitaan ekonomi dunia yang terkena imbas perang dagang yang diakukan AS.

Tetapi pada 2019, Tony yakin perang dagang akan mulai mereda setelah Presiden Donald Trump bertemu dengan Presiden China Xi Jinping belum lama ini.

"Trump kelihatan mulai melunak bahwa perang dagang tidak akan menguntungkan siapa-siapa, seluruh dunia menderita. AS sendiri menderita karena statistik terakhir tahun lalu perdagangan AS defisitnya makin besar," kata dia.

Selain itu, Tony juga yakin bank sentral AS Federal Reserve tak akan sampai menaikan suku bunganya hingga tiga kali pada 2019. Paling-paling hanya sekali.

Saat ini kata dia, suku bunga acuan AS ada di 2,5 persen. Sementara itu inflasi di AS juga ada sekitar 2,5 persen.

Baca juga: Belum Akan Naikkan Suku Bunga Acuan, The Fed Masih Wait and See

Jadi, bila The Fed ingin memberi margin untuk penabung, maka suku bunga di AS cukup naik jadi 2,75 persen tidak perlu sampai 3,15 persen.

Awalnya suku bunga AS memang akan dinaikan sampai 3,25 persen hingga akhir tahun ini. Dengan asumsi inflasi AS masih 2,9 persen. Tetapi sekarang inflasi hanya 2,5 persen.

Menurut Tony, hal ini bisa berdampak positif kepada Indonesia, terutama ke nilai tukar rupiah. Seperti diketahui, nilai tukar rupiah kerap bergejolak akibat kebajikan The Fed.

"Jadi ancaman dari AS soal suku bunga tidak akan sebesar tahun kemarin. Ini keuntungan untuk indonesia atau rupiah," kata dia.

Tak sampai di situ, Tony juga melihat AS mulai jenuh dengan New York Stock Exchange. Setelah sempat mencapai indeks harga 26.600 poin, kini secara perlahan hukum ekonomi berlaku.

Baca juga: Gubernur The Fed Khawatir dengan Pertumbuhan Utang AS

"Indeks 26.600 sudah terlalu tinggi sebab saat sebelum krisis 2008, indeks harga itu 17.000, ketika krisis  9.000, lah kok kemarin jadi 26.600. Makanya kapitalisasi Amazon dan Apple itu sempat 1 triliun dollar AS, sekarang terkoreksi," kata dia.

Dinamika ekonomi AS pada 2019 akan membuat aliran dana masuk ke negara lain, termasuk Indonesia. Hal inilah yang diyakini bisa membuat rupiah terus menguat pada 2019.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com