JAKARTA, KOMPAS.com - Beberapa waktu lalu, mitra pengemudi transportasi berbasis aplikasi melakukan unjuk rasa menuntut adanya kenaikan tarif. Sebab, tarif per kilometer yang diberlakukan saat ini dirasa mencekik dan terlampau rendah.
Terkait hal ini, Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata mengungkapkan, pihaknya tidak bisa mengabulkan tuntutan para mitra pengemudi tersebut. Mengapa demikian?
Ridzki menyatakan, selama ini ada persepsi yang salah, yang menjadi fokus tuntutan para mitra pengemudi, yakni kenaikan tarif. Menurut dia, yang seharusnya menjadi fokus adalah tuntutan kenaikan pendapatan.
"Menaikkan tarif tidak serta-merta menaikkan pendapatan," ujar Ridzki dalam media briefing di kantor pusat Grab Indonesia, Jumat (6/4/2018).
Baca juga: Indef Soroti Akuisisi Uber oleh Grab dan Nasib Pengemudinya
Ridzki menyebut, apabila kenaikan tarif hanya dilakukan secara sepihak dan tidak ada penghitungan yang matang, justru hal ini akan menurunkan pendapatan. Alasannya, konsumen akan merasa keberatan dan pada akhirnya pesanan dari konsumen bisa berkurang.
"Permintaan yang tidak bertanggung jawab ini menyebabkan penurunan pendapatan. Kami tidak bisa memenuhi," tutur Ridzki.
Ia pun menjelaskan, penyesuaian tarif sebenarnya sudah dilakukan oleh Grab dengan menggunakan teknologi. Ridzki mencontohkan, pada jam-jam tertentu, misalnya, tarif akan cenderung tinggi.
Ia juga memberi contoh, dengan tarif Rp 2.000 per kilometer dengan 20 perjalanan tiap harinya dengan jarak 10 kilometer pada masing-masing perjalanan akan memberikan penghasilan Rp 400.000. Namun, bila tarif dinaikkan menjadi Rp 4.000 per kilometer dan pemesanan berkurang menjadi 7 perjalan per hari dengan jarak tempuh sama, maka penghasilan turun menjadi Rp 280.000.
"Teknologi selalu kami pakai untuk mengoptimalkan pendapatan. Maka, disarankan kepada mitra pengemudi untuk mengikuti arahan Grab terkait bagaimana meningkatkan pendapatan," kata Ridzki.