Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Jokowi dan Konsistensi yang Ternoda

Kompas.com - 11/09/2017, 06:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBambang Priyo Jatmiko

Banyak pihak menyebut, pemerintah mulai khawatir dengan kondisi perekonomian dan daya beli masyarakat yang belum sesuai harapan.

Per triwulan II 2017,  pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat 5,01 persen. Angka ini jauh di bawah target pertumbuhan ekonomi 2017 yang dipatok sebesar 5,2 persen.

Daya beli masyarakat juga belum begitu kuat karena hanya tumbuh 4,95 persen per triwulan II 2017, relatif stagnan dibandingkan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya.

Kondisi ini tentu menjadi pertimbangan pemerintah sehingga akhirnya memilih memberikan subsidi premium. Sebab, jika harga premium dinaikkan, maka akan memicu inflasi dan kontraksi pertumbuhan ekonomi. Daya beli masyarakat juga akan terpukul.

Bahkan pada 2018, berdasarkan RAPBN 2018, subsidi BBM akan ditingkatkan lagi menjadi Rp 51,1 triliun. Ini makin menunjukkan bahwa Jokowi ternyata juga memprioritaskan belanja yang dianggap tidak produktif, yakni subsidi premium.

Tentu saja, pemerintah sebisa mungkin akan menghindari kebijakan-kebijakan yang tidak populer di mata masyarakat pada 2018 hingga menjelang Pilpres 2019. 

Menaikkan harga BBM dikhawatirkan akan menjatuhkan citra pemerintah. Ini justru memperlihatkan kepada masyarakat bahwa Presiden Jokowi lebih mementingkan popularitas lebih ketimbang konsistensi.

Teringat kata-kata yang kerap diucapkan Jokowi untuk meyakinkan masyarakat perlunya pengalihan anggaran dari belanja yang kurang produktif seperti subsidi ke belanja yang lebih produktif seperti pembangunan infrastruktur, “Awalnya memang sakit, tetapi ini harus dilakukan agar perekonomian kita bisa tumbuh lebih cepat ke depan.” 

Utang

Dengan kembali memberikan subsidi, berarti dana  dari penerimaan migas yang pada 2018 ditargetkan sebesar Rp 77,2 triliun tidak bisa sepenuhnya dialihkan untuk pembangunan infrastruktur.

Artinya, dana untuk pembangunan infrastruktur yang dialokasikan sebesar Rp 409 triliun pada 2018 akan diambil dari utang. Inilah yang menjelaskan mengapa pemerintahan Jokowi, berdasarkan RAPBN 2018,  berencana menambah utang baru sebesar Rp 399,2 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani selalu mengatakan, dilihat dari rasionya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), utang pemerintah Indonesia masih terkendali dan bahkan lebih baik dibandingkan banyak negara lainnya.

Memang, tak masalah berutang sepanjang digunakan untuk belanja yang produktif seperti membangun infrastruktur.

Toh Indonesia memang sangat membutuhkan infrastruktur untuk mengurangi biaya logistik, mengurangi kesenjangan antar-daerah, menciptakan kantong-kantong ekonomi baru, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Tanpa infrastruktur yang memadai, Indonesia tidak akan pernah bisa naik kelas menjadi negara maju.

Namun, akan jauh lebih baik jika dana untuk pembangunan infrastruktur sebagian diambil dari pengalihan anggaran yang kurang produktif seperti yang menjadi strategi Jokowi sejak awal pemerintahannya, namun belum sempat tereksekusi hingga kini.

Terus berutang dalam jumlah besar tidak hanya akan membebani masa depan anak cucu tetapi juga akan membuat struktur APBN menjadi tidak sehat karena beban pembayaran bunga utang terus membesar.

Pada 2013, anggaran APBN yang dialokasikan untuk pembayaran bunga utang sebesar Rp 113 triliun. Namun pada 2018, berdasarkan RAPBN 2018, alokasi anggaran untuk membayar bunga utang mencapai Rp 247,6 triliun, atau tumbuh 119 persen dibandingkan tahun 2013.

Sementara pada periode yang sama, penerimaan negara hanya tumbuh 30,5 persen dari Rp 1.439 triliun pada 2013 menjadi Rp 1.878 triliun berdasarkan RAPBN 2018.

Perkembanan pembayaran bunga utang pemerintahSumber: Kemenkeu Perkembanan pembayaran bunga utang pemerintah

Jadi sekali lagi, tidak masalah berutang untuk membangun infrastruktur, namun mbok ya jangan terlalu mengandalkan utang dan juga jangan berutang terlalu besar.

Jika ada dana sendiri yang bisa dialihkan, maka itu sebaiknya yang digunakan untuk anggaran infrastruktur. 

Yakinlah, citra pemerintah tak akan jatuh menjelang pilpres 2019, karena masyarakat pasti akan menghargai konsistensi yang tak ternoda dan agenda yang tak terselubung.

Kompas TV Arti Pertemuan Presiden Jokowi dan Presiden Bank Dunia


 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com