JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia adalah raksasa ekonomi dengan potensi yang sangat besar. Namun, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah untuk memperkecil kesenjangan akses keuangan antarsegmen masyarakat.
Saat ini baru 36 persen atau sekitar 90 juta penduduk dewasa Indonesia yang memiliki rekening bank.
Bulan Inklusi Keuangan yang jatuh bertepatan pada bulan Oktober ini, menjadi momen untuk melakukan refleksi, apa saja yang telah diupayakan untuk mencapai tujuan aspirasional tersebut.
Dan, bagaimana generasi baru keuangan yang lahir bersamaan dengan lahirnya teknologi finansial (tekfin) memiliki kesempatan untuk mencairkan status quo dan memecahkan kejenuhan – serta untuk memastikan bahwa ‘inklusi keuangan’ bukanlah jargon semata.
Solidaritas Sektor Muda
Sama seperti halnya mesin ATM yang pertama kali diperkenalkan sekitar tiga dekade lalu, ‘barang’ baru semacam layanan tekfin yang jauh lebih beragam dan jauh lebih maju, tidak serta merta langsung dipahami oleh publik dan nasabah – dan bahkan para pemangku kepentingan keuangan lainnya.
Padahal kemajuan teknologi tidak dapat diperlambat. Untuk itu pemahaman, pemanfaatan, pengembangan dan pengendalian tekfin harus terjadi di saat yang bersamaan.
Menyadari hal tersebut, pelaku industri tekfin membangun koalisi industri dengan membentuk Asosiasi FinTech Indonesia (AFTECH) – sebagai salah satu asosiasi profesional yang paling cepat dibentuk mengiringi perkembangan sektor.
Hanya dalam kurun waktu kurang lebih satu tahun, saat ini AFTECH didukung 104 perusahaan rintisan tekfin (yang terdiri dari perusahaan pembayaran, pemberi pinjaman, agregator, ekonomi berbasis kerumuman/crowdfunding dan perencanaan keuangan).
Juga didukung 22 institusi perbankan, perusahaan pembiayaan, asuransi, sekuritas dan asset management, serta telekomunikasi.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.