Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Miftah Sabri
CEO Selasar Indonesia

CEO Selasar Indonesia

Blok Rokan dan Bagi Hasil untuk Riau

Kompas.com - 07/08/2018, 10:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Namun demikian, berdasarkan aturan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang sudah ada, cukup terasa bahwa dana bagi hasil migas untuk provinsi dan daerah penghasil masih sangat kecil. Boleh jadi tak sebanding dengan posisi daerah tersebut yang berstatus sebagai daerah penghasil dan daerah yang akan menerima risiko-risiko tambang yang muncul.

Toh mumpung Pertamina yang memenangkan, sebaiknya Riau dan pemda-pemda yang terkait langsung dengan Blok Rokan juga membuka tawaran baru alias meminta pemerintah pusat untuk menegosiasi ulang takaran bagi hasil Minyak dan Gas Bumi antara pusat dan daerah.

Toh meminta atau mengajak bernegosiasi ulang tentu tidak salah, apalagi negara kita negara demokrasi yang sudah mengokohkan asas-asas otonomi daerah dalam sistem pemerintahannya.

Bisa dibayangkan, selama 20 tahun sejak 2021, pemerintah akan mengantongi Rp 825 triliun dari Blok Rokan, ada kenaikan yang cukup besar.

Baca juga: Pertarungan Chevron Vs Pertamina dalam Pengelolaan Blok Migas Rokan

Masalahnya, jangan sampai eforia tersebut hanya menjadi milik Pertamina, kontraktor, dan pemerintah pusat semata, Riau pun tentu harus mendapatkan nilai tambah dari kemenangan Pertamina tersebut.

Berdasarkan regulasi yang ada, dasar pemerintah membagi persentase dana bagi hasil migas adalah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Regulasi tersebut mengatur bahwa penerimaan minyak bumi, setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lain, dibagi dengan imbangan 84,5 persen untuk pemerintah pusat dan 15,5 persen untuk daerah. Dari angka 15,5 persen tersebut, sebesar 0.5 persen dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar pada daerah bersangkutan.

Sisanya sebesar 15 persen dibagi dengan rincian: 3 persen untuk provinsi, 6 persen untuk kabupaten/kota penghasil, dan 6 persen untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.

Khusus untuk penerimaan gas bumi, pembagiannya adalah 69,5 persen untuk pemerintah pusat dan 30,5 persen untuk daerah. Lalu, sebesar 0,5 persen dari hak daerah ini akan dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar pada daerah bersangkutan.

Sisanya sebesar 30 persen dibagi dengan rincian 6 persen untuk provinsi; 12 persen untuk kabupaten/kota penghasil; dan 12 persen untuk kabupaten/kota lain.

Saya kira, sudah waktunya Riau dan daerah penghasil minyak lainnya mengajak pemerintah pusat duduk bersama kembali dan menemukan kesepakatan baru soal kenaikan jatah bagi hasil daerah penghasil dengan meninjau ulang klausul-klausul bagi hasil dalam regulasi perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Boleh jadi dana bagi hasil minyak tidak sebesar persentase bagi hasil gas bumi, tetapi setidaknya harus lebih berimbang dan adil. Bagi pusat pun, untuk mempercepat pembangunan dari daerah pinggiran sebagaimana moto Jokowi, angka 15,5 persen dana bagi hasil untuk daerah penghasil minyak tentu terasa sangat tidak adil.

Dalam hal ini, Presiden Joko Widodo semestinya membuktikan lebih dari sekadar memindah hak pengelolaan ke perusahaan domestik karena semua pemimpin pasti bisa melakukan itu. Cukup perintahkan menteri terkait untuk memenangkan Pertamina, beres urusan.

Namun, akan menjadi prestasi lain jika Jokowi dan jajarannya berhasil menggeser angka bagi hasil minyak dari yang telah ditetapkan dalam aturan lama. Mungkin tidak sampai 30, 5 persen seperti bagi hasil gas bumi, tetapi mengubah dari 15,5 persen menjadi 20-25 persen pasti menjadi prestasi tersendiri bagi Jokowi.

Dengan komposisi baru tersebut (20-25 persen), misalnya, daerah provinsi bisa mendapat 4-5 persen. Sebanyak 0,5-1 persen untuk tambahan anggaran pendidikan dasar, bagian 7,5 -9 persen untuk daerah penghasil, dan 7,5-9 persen untuk daerah lainya di dalam provinsi yang sama.

Menurut hemat saya, sudah saatnya Riau dan daerah lain penghasil minyak mendapat haknya secara proporsional, adil, dan pantas. Apalagi berkemungkinan besar pemda-pemda yang terkait dengan blok Rokan, misalnya, akan sulit mendapat hak partisipasi karena beberapa kendala dan persoalan.

Maka dari itu, ada baiknya Riau mencarikan celah lain untuk mendapat hak yang sesuai dan pantas, yakni peningkatan penerimaan dana bagi hasil minyak, agar Riau tak terlalu terkesan hanya dijadikan sapi perah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com